Oleh: Pahrudin HM, MA
Sebagaimana diketahui bahwa Timur Tengah selalu menjadi pusat perhatian dunia dari dahulu hingga saat ini. Segala sesuatu yang berkaitan dan terjadi di kawasan yang terletak di Asia Barat dan Afrika Utara ini selalu mendapatkan apresiasi yang tinggi dari segenap publik dunia. Namun demikian, terdapat beberapa tema sentral Timur Tengah yang mendapatkan porsi yang besar dan perlu mendapat perhatian, baik yang telah terjadi maupun yang hingga saat ini masih berlangsung, yaitu perang Irak-Iran, Irak pasca invasi Amerika, Palestina, konflik air, suku Kurdi, minyak, dan motivasi intervensi asing di kawasan ini.
1. Perang Irak-Iran dan motivasi yang melatarbelakanginya.
Sebagaimana diketahui bahwa Iran yang mewarisi kejayaan masa lalu Persia dalam kurun waktu yang lama berada dibawah penguasaan Shah Reza yang didukung oleh Barat, utamanya Amerika Serikat, sekaligus sekutu utamanya di Timur Tengah. Akan tetapi setelah terjadinya Revolusi Islam tahun 1979 pimpinan ulama karismatik Syiah Ayatullah Ruhullah Komeini yang mengubah bentuk Iran menjadi Republik Islam sekaligus mengusir Shah Reza menuju pengasingan, maka Iran berubah menjadi musuh bagi Barat. Hal ini karena kebijakan-kebijakan pemerintah Iran yang diterapkan Ayatullah Komeini sangat anti Barat. Akibatnya, beragam upaya dilakukan Barat untuk menghambat perkembangan Iran dibawah kekuasaan Ayatullah Komeini seperti pengucilan dari percaturan dunia, meskipun tidak pernah berhasil.
Melihat kondisi Iran yang sibuk menghadapi serangan yang dilancarkan Barat, maka pada tahun 1980 Irak dibawah pimpinan Saddam Husein melancarkan serangan ke negeri Persia tersebut. Tujuan utama serangan Irak ini dilakukan karena faktor ekonomi untuk merebut Khuzestan, sebuah wilayah yang terletak di bagian barat dan merupakan provinsi ke-30 Iran. Khuzestan memang dikenal sebagai salah satu wilayah Persia yang memiliki cadangan minyak besar yang dapat digunakan untuk membantu perekonomian Irak. Melihat wilayahnya hendak dikuasai tentu Iran tidak tinggal diam sehingga meletuslah pertikaian yang kemudian dikenal sebagai Perang Irak-Iran yang berlangsung selama 8 tahun (1980-1988) yang memakan korban dalam kisaran 500.000-1.000.000 jiwa.
Selanjutnya, karena tersedotnya dana Irak untuk membiayai perang dengan Iran yang tidak berhasil menguasai Khuzestan, maka perekonomian Irak berada dalam jurang kehancuran. Untuk mengatasi masalah ini maka lagi-lagi Saddam Husein mengatasinya dengan menyerang negara lain dan menguasai sumber-sumber minyaknya. Jika dalam rentang tahun 1980-1988 upaya ini dilakukan terhadap Iran, maka pada tahun 1990 Saddam Husein kembali menyerang tetangganya, Kuwait. Pada awalnya tentara Irak sempat menguasai Kuwait dan mengusir Amirnya, Syeikh Jabbar al-Ahmad al-Sabah, akan tetapi Arab Saudi yang berbatasan langsung kemudian meminta bantuan Amerika Serikat sehingga meletuslah Perang Teluk I. Akibat keengganan Irak menarik pasukannya dari Kuwait ditengah kecaman dan embargo ekonomi, maka pada tahun 1991 pasukan multinasional dibawah pimpinan Amerika Serikat terlibat pertempuran dahsyat dengan tentara Saddam Husein. Pada Februari 1991 akhirnya tentara Irak berhasil dikalahkan dan meninggalkan Kuwait dengan menderita kerugian yang sangat besar sekaligus juga meninggalkan masalah besar di Kuwait karena banyak lading minyak yang terbakar dan dibakar.
Dengan demikian, faktor yang menyebabkan Irak harus berperang dengan negara tetangganya adalah karena alasan ekonomi. Meskipun sebenarnya wilayah Irak sendiri sangat kaya dengan cadangan minyak sehingga menempatkannya sebagai runner-up dalam peringkat negara-negara produsen minyak dunia setelah Arab Saudi, tetapi karena ambisi besar Saddam Husein yang ingin menguasai seluruh sumber besar minyak sehingga perekonomian Irak semakin besar menyebabkannya menyerang tetangganya.
2. Masa Depan Irak Pasca Invasi Amerika
Secercah harapan masyarakat dunia sebenarnya cukup membuncah dengan dilaksanakannya pemilu di Irak pada tanggal 7 Maret 2010 yang lalu. Pemilu kali ini merupakan pemilu yang kedua setelah tergulingnya Saddam Husein oleh invasi Amerika Serikat pada tahun 2003, dimana pemilu pertama digelar pada tahun 2005. Akan tetapi harapan tersebut sedikit ternoda oleh terjadinya rentetan kekerasan berupa pemboman yang banyak terjadi di seantereo Negeri 1001 Malam ini.
Secara umum telah banyak mengemuka kesadaran di kalangan para tokoh dan pemimpin Irak. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam kontestan yang turut berpartisipasi dalam pemilu. Jika melihat para peserta yang bertarung untuk memperebutkan posisi memimpin Irak akan datang ini berasal dari berbagai latar belakang etnis yang ada dalam masyarakat Irak. Kelompok Sunni dipimpin oleh mantan Perdana Mentri Iyyad Alawi, kelompok Syiah dibawah komando Perdana Mentri saat ini Nouri al-Maliki sedangkan kelompok Kurdi dibawah arahan Jalal Talabani. Masing-masing pemimpin yang mewakili bagian terbesar yang ada dalam masyarakat Irak ini berkomitmen untuk membangun masa depan Irak yang lebih baik setelah sekian lama terkungkung dalam kekuasaan Saddam Husein yang otoriter dan terpenjara dalam beragam pertikaian pasca invasi Amerika Serikat tahun 2003. Hal ini penting untuk dilakukan karena secara sosio-historis masyarakat Arab yang merupakan mayoritas di Irak sangat patuh dan menghormati apapun yang dilakukan oleh para pemimpinnya.
Sebagaimana janji kampanye Barack Obama dalam pencalonannya menuju Gedung Putih yang lalu yang berkomitmen menyelesaikan masalah Irak sekaligus menarik pasukan Amerika secara bertahap dari sana. Setelah cukup lama presiden kulit hitam pertama Negeri Paman Sam, Obama terus berupaya mengatasi problem yang dihadapi Irak, utamanya persoalan keamanan yang terus menghantui. Secara bertahap AS menyerahkan pengeloaan berbagai tempat di Irak kepada militer dan penguasa setempat. Dua kali pelaksanaan pemilu untuk memilih pemimpin yang benar-benar dikehendaki rakyat Irak juga telah dilaksanakan. Meskipun demikian, kebijakan AS yang cenderung tetap ingin menguasai Irak melalui para ‘bonekanya’ di pemerintahan menjadi persoalan tersendiri sehingga memunculkan banyak pertentangan di kalangan masyarakat Irak sehingga tidak jarang menimbulkan perselisihan yang memakan korban jiwa.
Salah satu problem pelik yang terus menghantui Irak pasca tergulingnya Saddam adalah perselisihan antara Sunni dan Syiah. Setelah invasi Amerika Serikat tahun 2003, masing-masing pihak merasa paling berhak memimpin Irak karena menganggap merupakan bagian terbesar dalam masyarakat negeri itu. Kelompok Syiah merasa sudah saatnya diberi kesempatan memimpin Irak setelah selama bertahun-tahun menderita akibat perlakuan diskriminatif Saddam yang merupakan representasi kelompok Sunni. Begitu juga dengan kelompok Kurdi menganggap memiliki hak atas kepemimpinan Irak karena aliran dana dari kilang-kilang minyak mayoritas berada di wilayah mereka tinggal dan selama ini dianaktirikan oleh rezim Saddam. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok Sunni yang merasa paling berhak. Pertentangan ini bahkan tidak jarang berujung pada peperangan dan aksi bom bunuh diri di tempat yang menjadi lawan politiknya, bahkan hingga ke tempat-tempat ibadah. Hanya saja, pada pemilu 2010 ini hubungan antara ketiga etnis terbesar Irak ini sudah relatif kondusif seiring dengan partisipasi meraka dalam pemilu, meskipun tidak sepenuhnya dapat hilang.
Meskipun Irak secara geografis dan kultur adalah bagian dari masyarakat Arab dan Timur Tengah, tetapi beberapa tahun belakangan ini agak dikucilkan dari kancah percaturan di kawasan ini. Ini tentu berkaitan dengan masa lalu Irak dibawah kepemimpinan Saddam yang gemar menyerang tetangganya. Akibatnya, di kala Irak telah terbebas dari cengkeraman Saddam sejak tahun 2003 yang lalu, Liga Arab yang menjadi wadah negara-negara Arab memperbincangkan beragam problem nampak tidak begitu kelihatan perannya. Meskipun demikian, sebagai sesama Arab tentu para anggota Liga Arab akan berupaya membantu Irak dalam menyelesaikan problem yang menghinggapinya, apalagi jika Amerika Serikat yang menjadi sekutunya telah mengamini dan membuka jalan untuk itu. Perwakilan negara-negara Arab yang sebelum dibekukan telah dibuka kembali dan bantuan dalam berbagai dimensi telah dirasakan manfaatnya oleh rakyat Irak,. Bahkan, Kuwait sebagai negeri yang pernah merasakan serbuan Irak pun turut berkomitmen untuk membantu beragam problem yang dihadapi rakyat Irak. Beberapa kali dalam siding-sidang dan pertemuan Liga Arab persoalan Irak menjadi salah satu topic yang dibahas. Hal ini dapat dimengerti karena disamping karena faktor solidaritas, para anggota Liga Arab tentu juga diuntungkan dengan terselesaikannya persoalan Irak, terutama pada aspek perekonomian mereka yang membutuhkan stabilitas kawasan tersebut.
Selanjutnya, perbincangan mengenai Irak tentu juga bersentuhan dengan minyak. Produksi minyak yang dihasilkan oleh Irak memang merupakan bagian terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi. Artinya, penyelesaian persoalan minyak di Irak adalah menjadi salah satu prioritas utama. Hingga saat ini memang ladang-ladang minyak Irak belum sepenuhnya dapat beroperasi akibat perang dan pertikaian dalam internal Irak. Namun demikian, secara bertahap produksi minyak Irak mulai pulih, berbagai tender yang melibatkan berbagai perusahaan asing, baik dari sesama kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi maupun dari luar seperti Inggris, Prancis, Italia dan Amerika Serikat, sudah dilakukan dengan satu tujuan untuk mengembalikan status Irak sebagai produsen minyak dunia. Meskipun demikian, sebagaimana yang sudah banyak dipahami bahwa jika menyangkut sesuatu yang sangat berharga, seperti minyak, maka tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Persoalan minyak di Irak menjadi problem yang juga membutuhkan perhatian serius karena banyak tudingan bahwa pengelolaan minyak di Irak lebih banyak didapatkan oleh perusahaan-perusahaan Barat. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa motivasi sebenarnya invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 bukanlah murni untuk membebaskan rakyat Irak dari tirani Saddam, tetapi untuk menguasai atau paling tidak mengontrol sumber minyaknya.
3. Masa Depan Palestina
Pembicaraan mengenai masa depan Palestina menjadi sesuatu yang dapat dikatakan tidak berujung. Hal ini karena penyelesaian persoalan Palestina tidak semudah mengatasi problem yang menimpa negara lainnya. Ada banyak problem yang mengitari wilayah yang disucikan oleh tiga agama besar dunia ini; Islam; Kristen dan Yahudi. Problem tersebut adalah Israel, standar ganda Amerika Serikat dan perpecahan di kalangan internal Palestina sendiri serta tidak bersatunya Dunia Arab dan Dunia Islam pada umumnya.
Sebagaimana diketahui bahwa pendirian negara Israel yang merupakan satu-satunya Negara Yahudi di muka bumi merupakan sumber konflik di Palestina hingga saat ini. Melalui mandat berupa Deklarasi Balfour yang diberikan Inggris sebagai penguasa Palestina saat itu, kelompok Zionis memproklamirkan berdirinya Negara Israel pada tahun 1948. Negara Yahudi ini menempati wilayah yang telah sekian lama ditempati oleh orang-orang Palestina. Berbagai macam cara dilakukan Israel untuk mendapatkan wilayah di Palestina, seperti pengusiran dan penggusuran pemukiman warga Palestina serta menyerang negara-negara Arab sekitar seperti Mesir dengan Sinai-nya, Syiria dengan Dataran Tinggi Golannya, dan Yordania dengan Jalur Gaza-nya. Upaya memaksakan kehendak yang dilakukan Israel ini celakanya mendapat restu dan dukungan penuh negara-negara Barat, utamanya Inggris dan Amerika Serikat. Negeri Paman Sam memang selama ini dianggap menerapkan standar ganda dalam kebijakan politiknya di Timur Tengah, di satu sisi jika yang melakukan pelanggaran ketentuan adalah negara-negara Arab maka dengan serta merta langsung ditindak olehnya, tetapi jika yang melakukannya adalah Israel maka didiamkan saja. Sokongan kuat Amerika Serikat terhadap Israel dalam segala bentuknya ini diyakini semakin membuat problem Palestina menjadi sulit untuk diselesaikan.
Problem lain yang patut diperhatikan dalam pembicaraan mengenai masa depan Palestina adalah perpecahan di kalangan internal Palestina sendiri. PLO (Palestinian Liberation Organization) melalui sayap militer Fatah-nya selalu bersengketa dengan Hamas (Harakah Muqawamah al-Islamiyah). Kelompok pertama merupakan manifestasi dari kalangan sekuler Palestina dengan tokoh fenomenalnya, Yasser Arafat, sedangkan kelompok kedua tersebut merupakan representasi kalangan Islam dengan tokoh utamanya Syeikh Ahmad Yasin. Meskipun sama-sama bertujuan mendirikan Palestina merdeka, tetapi keduanya mengambil langkah yang berbeda yang tidak jarang berujung perselisihan. PLO lebih banyak menempuh langkah damai dengan menghadiri beragam pertemuan dengan Israel dan Amerika Serikat, sedangkan Hamas lebih banyak menempuh jalur konfrontasi dengan menggunakan senjata. Salah satu upaya perlawanan yang dilakukan Hamas terhadap pendudukan Israel adalah Intifadhah, yaitu perlawanan penuda-pemuda Palestina dengan menggunakan batu. Dalam kancah internasional, karena dianggap dapat diajak kompromi, PLO diakui sebagai representasi Palestina. Pada awalnya PLO memang mendapat simpati yang luas di kalangan rakyat Palestina, tetapi belakangan ini dukungan rakyat kian menurun drastis. Sepertinya rakyat Palestina mulai muak dengan langkah damai PLO yang tidak kunjung menuai hasil dan malah menguatkan posisi Israel dengan pengakuan PLO terhadap negara Yahudi tersebut. Apa yang terjadi kemudian sungguh di luar perkiraan, pada pemilu 2004 secara meyakinkan Hamas memenangi menuai hasil yang sangat signifikan dengan menguasai mayoritas parlemen Palestina. Akibatnya secara otomatis pemimpin Hamas, Ismail Haniyyah, diangkat sebagai Perdana Mentri dan mengontrol wilayah Gaza hingga saat ini. Akan tetapi, karena ketidaksamaan ideology di antara faksi-faksi yang ada di internal, hasil pemilu demokratis ini tidak berarti apa-apa dan Palestina kembali terkotak-kotak di tengah upaya mereka mewujudkan Palestina yang merdeka dan berdaulat layaknya bangsa lainnya di seluruh dunia.
Berikutnya, problem lainnya adalah tidak bersatunya negara-negara Arab yang notabene adalah saudara sekultur dan bahasa serta agama dengan Palestina. Secara umum, hubungan Palestina dengan negara-negara Arab lainnya tidak terlalu harmonis. Hal ini terutama karena faktor sejarah, dimana Arafat sebagai pemimpin Palestina di masa pemerintahannya merupakan pendukung Saddam yang saat itu tidak disukai oleh para pemimpin Arab lainnya. Akan tetapi, menurut penulis faktor utama yang menyebabkan hubungan ini tidak harmonis adalah karena tekanan Amerika Serikat yang merupakan patron bagi negara-negara besar di Timur Tengah, seperti Saudi Arabia dan Mesir, yang sekaligus juga ‘bapak emas’ bagi Israel. Kalaupun ada bantuan itupun tidak optimal sebagaimana yang seharusnya dilakukan dan lebih banyak datang dari kalangan swasta (dermawan Arab).
Upaya perundingan yang dilakukan oleh Amerika Serikat memang telah dilakukan untuk menyelesaikan problem ini, dimana yang paling terkenal adalah Perjanjian Oslo tahun 1993. Dalam kesepakatan ini untuk pertama kalinya PLO mengakui keberadaan Israel dengan konsesi penarikan pasukan Israel dari Gaza dan Tepi Barat serta memberikan hak otonomi bagi PLO untuk menjalankan pemerintahannnya. Perundingan ini ternyata tidak berjalan efektif hingga saat ini karena kerapkali Israel menggempur kedua kawasan tersebut dengan dalih memburu para aktivis Hamas yang sering meroket pemukiman-pemukiman Yahudi. Tuntutan utama Palestina dalam upayanya mewujudkan Palestina merdeka adalah pengembalian seluruh wilayah Palestina yang diduduki Israel. Wilayah tersebut adalah Gaza dan Tepi Barat yang sudah diberikan dan Yerussalem yang merupakan kota suci agama-agama besar dunia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masa depan penyelesaian Palestina akan terwujud jika segenap internal Palestina bersatu untuk Palestina merdeka, pengembalian seluruh wilayah Palestina yang dikuasai Israel dan Amerika Serikat tidak lagi menerapkan standar ganda di Timur Tengah.
4. Konflik Air
Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar wilayah Timur Tengah adalah terdiri dari gurun pasir yang tandus. Meskipun dibawah gugusan pasir tersebut terdapat minyak bumi yang berlimpah, tetapi air menjadi problem tersendiri bagi sebagian besar wilayah Timur Tengah. Berdasarkan data yang diungkapkan ternyata Timur Tengah membutuhkan persediaan air sebesar 127,5 Miliar meter kubik setiap tahunnya. Dengan persediaan yang sebesar itu, hanya ada tiga Negara saja yang mempunyai sumber air, yaitu Mesir, Irak dan Sudan. sementara yang lainnya sangat bergantung dengan ketiga Negara tersebut.
Kondisi ini berakibat pada semakin urgen dan sekaligus langkanya air bagi kehidupan masyarakat Timur Tengah. Mesir dan Sudan merupakan daerah lintasan terbesar dan terpanjang sungai Nil sedangkan Irak menguasai sepenuhnya Sungai Tigris dan Euprat. Dari ketiga sungai inilah sungai-sungai kecil yang ada di negara-negara Arab lainnya airnya berasal, seperti sungai Yordan di Yordania. Tidak mengherankan jika di masa lalu pernah terjadi peperangan antara Israel dan Mesir untuk menguasai sumber air Sungai Nil dan perselisihan Israel dengan Yordania yang hendak mengontrol Sungai Yordan. Atau, perselisihan antara sesama negara Muslim yang melibatkan Turki dan Irak mengenai penguasaan Sungai Euprat.
5. Suku Kurdi
Para ilmuan dan pakar dunia mencatat bahwa satu-satunya suku bangsa besar dunia yang tidak memiliki negara adalah Suku Kurdi. Dengan populasi mencapai 30 juta jiwa, Suku Kurdi harus hidup terlunta-lunta di kawasan Timur Tengah, bandingkan dengan suku Melayu yang kini setidaknya memiliki 3 negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei.
Asal usul Suku Kurdi dapat dilacak dari sejarah Persia karena dari suku inilah mereka berasal. Saat ini suku Kurdi tersebar di beberapa Negara, yaitu: Turki, Irak dan Syiria. Namun demikian, nasib yang paling tragis dialami oleh Suku Kurdi di ketiga Negara tersebut adalah di Turki karena selalu diburu oleh pemerintah Turki akibat tuntutan merdeka mereka. Hingga saat ini, pertempuran antara pasukan Turki terus terjadi dengan pemberontak Kurdi bahkan hingga mencapai perbatasan dengan Irak. Tuntutan terbesar Kurdi untuk merdeka pun lebih lantang disuarakan dari wilayah-wilayah Kurdi yang dikuasai oleh Turki jika dibandingkan dengan di Irak dan Syiria. Melalui berbagai organisasinya, utamanya Partai Buruh Kurdi (PKK) yang dipimpin oleh Abdullah Ocalan, Kurdi terus menyuarakan kemerdekaannya dari Turki dan membentuk Negara tersendiri bernama Kurdistan, sementara di sisi lain Turki tetap berkomitmen untuk menjaga keutuhan wilayahnya. Di Syiria dan Irak suara kemerdekaan Kurdi tidak banyak disuarakan, bahkan salah astu tokoh utama Kurdi di Irak, Jalal Talabani, menjabat presiden Irak.
6. Minyak di Timur Tengah
Semenjak era industrialisasi yang merupakan implikasi dari revolusi industri di Prancis bergulir, maka otomatis penggunaan mesin menjadi sesuatu yang niscaya dan kebutuhan utama dalam kehidupan manusia. Mesin-mesin yang diperlukan manusia untuk berbagai kebutuhan tersebut tentu harus digerakkan oleh minyak. Sejak saat itulah menjadi sesuatu yang sangat bernilai dan diburu oleh banyak orang dan negara. Dengan demikian, secara otomatis pula negara atau kawasan yang memiliki cadangan minyak memainkan peranannya atau diperebutkan oleh banyak pihak.
Timur Tengah yang memiliki cadangan minyak terbesar di dunia menjadi pusat perhatian dunia, terutama negara-negara kuat, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Dengan berbagai dalih, Barat berupaya menguasai kawasan ini seperti yang tampak pada Perang Teluk dimana Amerika Serikat makin menancapkan pengaruhnya di kawasan ini. Akibatnya, peta politik Timur Tengah berubah drastis. Meskipun tidak semuanya tunduk dengan keinginan Barat, seperti yang diperlihatkan Iran, tetapi sebagian besar Timur Tengah berada dalam kontrol Barat.
Namun demikian, tidak selamanya minyak di Timur Tengah dikuasai oleh Barat. Hal ini terbukti dengan tekanan Raja Faisal dari Arab Saudi yang pernah memboikot pengiriman minyak ke Barat karena kritikannya terhadap standar ganda Amerika Serikat di Timur Tengah. Akibatnya, mesin-mesin industri di Barat lumpuh total selama beberapa waktu. Meskipun upaya ini tidak berlangsung lama, tetapi setidaknya memperlihatkan bagaiaman minyak dapat dijadikan komoditas politik di kawasan ini.
7. Timur Tengah dan Intervensi Asing
Tidak dapat dipungkiri bahwa Timur Tengah memiliki magnet yang selalu menyedot perhatian dunia. Akibatnya, kawasan ini selalu menjadi ajang pertarungan berbagai kekuatan dunia dari waktu ke waktu untuk menguasai dan mengontrolnya. Terdapat beberapa faktor yang membuat Timur Tengah selalu membuat kekuatan dunia ingin campur tangan di dalamnya.
- Posisi strategis Timur Tengah yang merupakan pintu gerbang ke berbagai tempat dunia, yaitu Eropa, Asia dan Afrika. Dengan demikian, maka dengan mengontrol kawasan ini maka secara otomatis mengontrol sebagian besar mobilitas dunia.
- Faktor historis Timur Tengah yang penuh dengan kejayaan dan kebanggaan. Lihatlah Palestina yang menjadi tempat suci tiga agama besar dunia; Islam, Kristen dan Yahudi. Selanjutnya, kawasan ini juga menjadi tempat lahir dan berkembangnya agama-agama besar dunia; Islam di Saudi Arabia dan Kristen dan Yahudi di Palestina. Peradaban-peradaban besar dunia juga pernah ada dan masih masih menyisakan peninggalannya di kawasan ini, seperti pyramid di Mesir dan peninggalan-peninggalan masa lampau yang berserakan di Irak dan Kota Batu Kuno di Perta Yordania.
- Karena faktor minyak yang merupakan bagian terbesar dunia yang berada di kawasan ini. Tercatat bahwa Arab Saudi dan Irak sebagai produsen minyak bumi terbesar di dunia, belum lagi jika ditambahkan dengan Iran, Uni Emirat Arab, Oman, Bahrain, Kuwait dan Yaman.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan campur tangan asing di Timur Tengah adalah untuk menguasai beragam keunggulan dan kelebihan yang dimiliki kawasan ini sebagai ‘ibu kota’ dan pusatnya dunia.