Tag Archives: Palestina

Mengupas Tema-Tema Sentral Timur Tengah

Oleh: Pahrudin HM, MA

Sebagaimana diketahui bahwa Timur Tengah selalu menjadi pusat perhatian dunia dari dahulu hingga saat ini. Segala sesuatu yang berkaitan dan terjadi di kawasan yang terletak di Asia Barat dan Afrika Utara ini selalu mendapatkan apresiasi yang tinggi dari segenap publik dunia. Namun demikian, terdapat beberapa tema sentral Timur Tengah yang mendapatkan porsi yang besar dan perlu mendapat perhatian, baik yang telah terjadi maupun yang hingga saat ini masih berlangsung, yaitu perang Irak-Iran, Irak pasca invasi Amerika, Palestina, konflik air, suku Kurdi, minyak, dan motivasi intervensi asing di kawasan ini.

1. Perang Irak-Iran dan motivasi yang melatarbelakanginya.

Sebagaimana diketahui bahwa Iran yang mewarisi kejayaan masa lalu Persia dalam kurun waktu yang lama berada dibawah penguasaan Shah Reza yang didukung oleh Barat, utamanya Amerika Serikat, sekaligus sekutu utamanya di Timur Tengah. Akan tetapi setelah terjadinya Revolusi Islam tahun 1979 pimpinan ulama karismatik Syiah Ayatullah Ruhullah Komeini yang mengubah bentuk Iran menjadi Republik Islam sekaligus mengusir Shah Reza menuju pengasingan, maka Iran berubah menjadi musuh bagi Barat. Hal ini karena kebijakan-kebijakan pemerintah Iran yang diterapkan Ayatullah Komeini sangat anti Barat. Akibatnya, beragam upaya dilakukan Barat untuk menghambat perkembangan Iran dibawah kekuasaan Ayatullah Komeini seperti pengucilan dari percaturan dunia, meskipun tidak pernah berhasil.

Melihat kondisi Iran yang sibuk menghadapi serangan yang dilancarkan Barat, maka pada tahun 1980 Irak dibawah pimpinan Saddam Husein melancarkan serangan ke negeri Persia tersebut. Tujuan utama serangan Irak ini dilakukan karena faktor ekonomi untuk merebut Khuzestan, sebuah wilayah yang terletak di bagian barat dan merupakan provinsi ke-30 Iran. Khuzestan memang dikenal sebagai salah satu wilayah Persia yang memiliki cadangan minyak besar yang dapat digunakan untuk membantu perekonomian Irak. Melihat wilayahnya hendak dikuasai tentu Iran tidak tinggal diam sehingga meletuslah pertikaian yang kemudian dikenal sebagai Perang Irak-Iran yang berlangsung selama 8 tahun (1980-1988) yang memakan korban dalam kisaran 500.000-1.000.000 jiwa.

Selanjutnya, karena tersedotnya dana Irak untuk membiayai perang dengan Iran yang tidak berhasil menguasai Khuzestan, maka perekonomian Irak berada dalam jurang kehancuran. Untuk mengatasi masalah ini maka lagi-lagi Saddam Husein mengatasinya dengan menyerang negara lain dan menguasai sumber-sumber minyaknya. Jika dalam rentang tahun 1980-1988 upaya ini dilakukan terhadap Iran, maka pada tahun 1990 Saddam Husein kembali menyerang tetangganya, Kuwait. Pada awalnya tentara Irak sempat menguasai Kuwait dan mengusir Amirnya, Syeikh Jabbar al-Ahmad al-Sabah, akan tetapi Arab Saudi yang berbatasan langsung kemudian meminta bantuan Amerika Serikat sehingga meletuslah Perang Teluk I. Akibat keengganan Irak menarik pasukannya dari Kuwait ditengah kecaman dan embargo ekonomi, maka pada tahun 1991 pasukan multinasional dibawah pimpinan Amerika Serikat terlibat pertempuran dahsyat dengan tentara Saddam Husein. Pada Februari 1991 akhirnya tentara Irak berhasil dikalahkan dan meninggalkan Kuwait dengan menderita kerugian yang sangat besar sekaligus juga meninggalkan masalah besar di Kuwait karena banyak lading minyak yang terbakar dan dibakar.

Dengan demikian, faktor yang menyebabkan Irak harus berperang dengan negara tetangganya adalah karena alasan ekonomi. Meskipun sebenarnya wilayah Irak sendiri sangat kaya dengan cadangan minyak sehingga menempatkannya sebagai runner-up dalam peringkat negara-negara produsen minyak dunia setelah Arab Saudi, tetapi karena ambisi besar Saddam Husein yang ingin menguasai seluruh sumber besar minyak sehingga perekonomian Irak semakin besar menyebabkannya menyerang tetangganya.

2. Masa Depan Irak Pasca Invasi Amerika

Secercah harapan masyarakat dunia sebenarnya cukup membuncah dengan dilaksanakannya pemilu di Irak pada tanggal 7 Maret 2010 yang lalu. Pemilu kali ini merupakan pemilu yang kedua setelah tergulingnya Saddam Husein oleh invasi Amerika Serikat pada tahun 2003, dimana pemilu pertama digelar pada tahun 2005. Akan tetapi harapan tersebut sedikit ternoda oleh terjadinya rentetan kekerasan berupa pemboman yang banyak terjadi di seantereo Negeri 1001 Malam ini.

Secara umum telah banyak mengemuka kesadaran di kalangan para tokoh dan pemimpin Irak. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam kontestan yang turut berpartisipasi dalam pemilu. Jika melihat para peserta yang bertarung untuk memperebutkan posisi memimpin Irak akan datang ini berasal dari berbagai latar belakang etnis yang ada dalam masyarakat Irak. Kelompok Sunni dipimpin oleh mantan Perdana Mentri Iyyad Alawi, kelompok Syiah dibawah komando Perdana Mentri saat ini Nouri al-Maliki sedangkan kelompok Kurdi dibawah arahan Jalal Talabani. Masing-masing pemimpin yang mewakili bagian terbesar yang ada dalam masyarakat Irak ini berkomitmen untuk membangun masa depan Irak yang lebih baik setelah sekian lama terkungkung dalam kekuasaan Saddam Husein yang otoriter dan terpenjara dalam beragam pertikaian pasca invasi Amerika Serikat tahun 2003. Hal ini penting untuk dilakukan karena secara sosio-historis masyarakat Arab yang merupakan mayoritas di Irak sangat patuh dan menghormati apapun yang dilakukan oleh para pemimpinnya.

Sebagaimana janji kampanye Barack Obama dalam pencalonannya menuju Gedung Putih yang lalu yang berkomitmen menyelesaikan masalah Irak sekaligus menarik pasukan Amerika secara bertahap dari sana. Setelah cukup lama presiden kulit hitam pertama Negeri Paman Sam, Obama terus berupaya mengatasi problem yang dihadapi Irak, utamanya persoalan keamanan yang terus menghantui. Secara bertahap AS menyerahkan pengeloaan berbagai tempat di Irak kepada militer dan penguasa setempat. Dua kali pelaksanaan pemilu untuk memilih pemimpin yang benar-benar dikehendaki rakyat Irak juga telah dilaksanakan. Meskipun demikian, kebijakan AS yang cenderung tetap ingin menguasai Irak melalui para ‘bonekanya’ di pemerintahan menjadi persoalan tersendiri sehingga memunculkan banyak pertentangan di kalangan masyarakat Irak sehingga tidak jarang menimbulkan perselisihan yang memakan korban jiwa.

Salah satu problem pelik yang terus menghantui Irak pasca tergulingnya Saddam adalah perselisihan antara Sunni dan Syiah. Setelah invasi Amerika Serikat tahun 2003, masing-masing pihak merasa paling berhak memimpin Irak karena menganggap merupakan bagian terbesar dalam masyarakat negeri itu. Kelompok Syiah merasa sudah saatnya diberi kesempatan memimpin Irak setelah selama bertahun-tahun menderita akibat perlakuan diskriminatif Saddam yang merupakan representasi kelompok Sunni. Begitu juga dengan kelompok Kurdi menganggap memiliki hak atas kepemimpinan Irak karena aliran dana dari kilang-kilang minyak mayoritas berada di wilayah mereka tinggal dan selama ini dianaktirikan oleh rezim Saddam. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok Sunni yang merasa paling berhak. Pertentangan ini bahkan tidak jarang berujung pada peperangan dan aksi bom bunuh diri di tempat yang menjadi lawan politiknya, bahkan hingga ke tempat-tempat ibadah. Hanya saja, pada pemilu 2010 ini hubungan antara ketiga etnis terbesar Irak ini sudah relatif kondusif seiring dengan partisipasi meraka dalam pemilu, meskipun tidak sepenuhnya dapat hilang.

Meskipun Irak secara geografis dan kultur adalah bagian dari masyarakat Arab dan Timur Tengah, tetapi beberapa tahun belakangan ini agak dikucilkan dari kancah percaturan di kawasan ini. Ini tentu berkaitan dengan masa lalu Irak dibawah kepemimpinan Saddam yang gemar menyerang tetangganya. Akibatnya, di kala Irak telah terbebas dari cengkeraman Saddam sejak tahun 2003 yang lalu, Liga Arab yang menjadi wadah negara-negara Arab memperbincangkan beragam problem nampak tidak begitu kelihatan perannya. Meskipun demikian, sebagai sesama Arab tentu para anggota Liga Arab akan berupaya membantu Irak dalam menyelesaikan problem yang menghinggapinya, apalagi jika Amerika Serikat yang menjadi sekutunya telah mengamini dan membuka jalan untuk itu. Perwakilan negara-negara Arab yang sebelum dibekukan telah dibuka kembali dan bantuan dalam berbagai dimensi telah dirasakan manfaatnya oleh rakyat Irak,. Bahkan, Kuwait sebagai negeri yang pernah merasakan serbuan Irak pun turut berkomitmen untuk membantu beragam problem yang dihadapi rakyat Irak. Beberapa kali dalam siding-sidang dan pertemuan Liga Arab persoalan Irak menjadi salah satu topic yang dibahas. Hal ini dapat dimengerti karena disamping karena faktor solidaritas, para anggota Liga Arab tentu juga diuntungkan dengan terselesaikannya persoalan Irak, terutama pada aspek perekonomian mereka yang membutuhkan stabilitas kawasan tersebut.

Selanjutnya, perbincangan mengenai Irak tentu juga bersentuhan dengan minyak. Produksi minyak yang dihasilkan oleh Irak memang merupakan bagian terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi. Artinya, penyelesaian persoalan minyak di Irak adalah menjadi salah satu prioritas utama. Hingga saat ini memang ladang-ladang minyak Irak belum sepenuhnya dapat beroperasi akibat perang dan pertikaian dalam internal Irak. Namun demikian, secara bertahap produksi minyak Irak mulai pulih, berbagai tender yang melibatkan berbagai perusahaan asing, baik dari sesama kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi maupun dari luar seperti Inggris, Prancis, Italia dan Amerika Serikat, sudah dilakukan dengan satu tujuan untuk mengembalikan status Irak sebagai produsen minyak dunia. Meskipun demikian, sebagaimana yang sudah banyak dipahami bahwa jika menyangkut sesuatu yang sangat berharga, seperti minyak, maka tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Persoalan minyak di Irak menjadi problem yang juga membutuhkan perhatian serius karena banyak tudingan bahwa pengelolaan minyak di Irak lebih banyak didapatkan oleh perusahaan-perusahaan Barat. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa motivasi sebenarnya invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 bukanlah murni untuk membebaskan rakyat Irak dari tirani Saddam, tetapi untuk menguasai atau paling tidak mengontrol sumber minyaknya.

3. Masa Depan Palestina

Pembicaraan mengenai masa depan Palestina menjadi sesuatu yang dapat dikatakan tidak berujung. Hal ini karena penyelesaian persoalan Palestina tidak semudah mengatasi problem yang menimpa negara lainnya. Ada banyak problem yang mengitari wilayah yang disucikan oleh tiga agama besar dunia ini; Islam; Kristen dan Yahudi. Problem tersebut adalah Israel, standar ganda Amerika Serikat dan perpecahan di kalangan internal Palestina sendiri serta tidak bersatunya Dunia Arab dan Dunia Islam pada umumnya.

Sebagaimana diketahui bahwa pendirian negara Israel yang merupakan satu-satunya Negara Yahudi di muka bumi merupakan sumber konflik di Palestina hingga saat ini. Melalui mandat berupa Deklarasi Balfour yang diberikan Inggris sebagai penguasa Palestina saat itu, kelompok Zionis memproklamirkan berdirinya Negara Israel pada tahun 1948. Negara Yahudi ini menempati wilayah yang telah sekian lama ditempati oleh orang-orang Palestina. Berbagai macam cara dilakukan Israel untuk mendapatkan wilayah di Palestina, seperti pengusiran dan penggusuran pemukiman warga Palestina serta menyerang negara-negara Arab sekitar seperti Mesir dengan Sinai-nya, Syiria dengan Dataran Tinggi Golannya, dan Yordania dengan Jalur Gaza-nya. Upaya memaksakan kehendak yang dilakukan Israel ini celakanya mendapat restu dan dukungan penuh negara-negara Barat, utamanya Inggris dan Amerika Serikat. Negeri Paman Sam memang selama ini dianggap menerapkan standar ganda dalam kebijakan politiknya di Timur Tengah, di satu sisi jika yang melakukan pelanggaran ketentuan adalah negara-negara Arab maka dengan serta merta langsung ditindak olehnya, tetapi jika yang melakukannya adalah Israel maka didiamkan saja. Sokongan kuat Amerika Serikat terhadap Israel dalam segala bentuknya ini diyakini semakin membuat problem Palestina menjadi sulit untuk diselesaikan.

Problem lain yang patut diperhatikan dalam pembicaraan mengenai masa depan Palestina adalah perpecahan di kalangan internal Palestina sendiri. PLO (Palestinian Liberation Organization) melalui sayap militer Fatah-nya selalu bersengketa dengan Hamas (Harakah Muqawamah al-Islamiyah). Kelompok pertama merupakan manifestasi dari kalangan sekuler Palestina dengan tokoh fenomenalnya, Yasser Arafat, sedangkan kelompok kedua tersebut merupakan representasi kalangan Islam dengan tokoh utamanya Syeikh Ahmad Yasin. Meskipun sama-sama bertujuan mendirikan Palestina merdeka, tetapi keduanya mengambil langkah yang berbeda yang tidak jarang berujung perselisihan. PLO lebih banyak menempuh langkah damai dengan menghadiri beragam pertemuan dengan Israel dan Amerika Serikat, sedangkan Hamas lebih banyak menempuh jalur konfrontasi dengan menggunakan senjata. Salah satu upaya perlawanan yang dilakukan Hamas terhadap pendudukan Israel adalah Intifadhah, yaitu perlawanan penuda-pemuda Palestina dengan menggunakan batu. Dalam kancah internasional, karena dianggap dapat diajak kompromi, PLO diakui sebagai representasi Palestina. Pada awalnya PLO memang mendapat simpati yang luas di kalangan rakyat Palestina, tetapi belakangan ini dukungan rakyat kian menurun drastis. Sepertinya rakyat Palestina mulai muak dengan langkah damai PLO yang tidak kunjung menuai hasil dan malah menguatkan posisi Israel dengan pengakuan PLO terhadap negara Yahudi tersebut. Apa yang terjadi kemudian sungguh di luar perkiraan, pada pemilu 2004 secara meyakinkan Hamas memenangi menuai hasil yang sangat signifikan dengan menguasai mayoritas parlemen Palestina. Akibatnya secara otomatis pemimpin Hamas, Ismail Haniyyah, diangkat sebagai Perdana Mentri dan mengontrol wilayah Gaza hingga saat ini. Akan tetapi, karena ketidaksamaan ideology di antara faksi-faksi yang ada di internal, hasil pemilu demokratis ini tidak berarti apa-apa dan Palestina kembali terkotak-kotak di tengah upaya mereka mewujudkan Palestina yang merdeka dan berdaulat layaknya bangsa lainnya di seluruh dunia.

Berikutnya, problem lainnya adalah tidak bersatunya negara-negara Arab yang notabene adalah saudara sekultur dan bahasa serta agama dengan Palestina. Secara umum, hubungan Palestina dengan negara-negara Arab lainnya tidak terlalu harmonis. Hal ini terutama karena faktor sejarah, dimana Arafat sebagai pemimpin Palestina di masa pemerintahannya merupakan pendukung Saddam yang saat itu tidak disukai oleh para pemimpin Arab lainnya. Akan tetapi, menurut penulis faktor utama yang menyebabkan hubungan ini tidak harmonis adalah karena tekanan Amerika Serikat yang merupakan patron bagi negara-negara besar di Timur Tengah, seperti Saudi Arabia dan Mesir, yang sekaligus juga ‘bapak emas’ bagi Israel. Kalaupun ada bantuan itupun tidak optimal sebagaimana yang seharusnya dilakukan dan lebih banyak datang dari kalangan swasta (dermawan Arab).

Upaya perundingan yang dilakukan oleh Amerika Serikat memang telah dilakukan untuk menyelesaikan problem ini, dimana yang paling terkenal adalah Perjanjian Oslo tahun 1993. Dalam kesepakatan ini untuk pertama kalinya PLO mengakui keberadaan Israel dengan konsesi penarikan pasukan Israel dari Gaza dan Tepi Barat serta memberikan hak otonomi bagi PLO untuk menjalankan pemerintahannnya. Perundingan ini ternyata tidak berjalan efektif hingga saat ini karena kerapkali Israel menggempur kedua kawasan tersebut dengan dalih memburu para aktivis Hamas yang sering meroket pemukiman-pemukiman Yahudi. Tuntutan utama Palestina dalam upayanya mewujudkan Palestina merdeka adalah pengembalian seluruh wilayah Palestina yang diduduki Israel. Wilayah tersebut adalah Gaza dan Tepi Barat yang sudah diberikan dan Yerussalem yang merupakan kota suci agama-agama besar dunia.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masa depan penyelesaian Palestina akan terwujud jika segenap internal Palestina bersatu untuk Palestina merdeka, pengembalian seluruh wilayah Palestina yang dikuasai Israel dan Amerika Serikat tidak lagi menerapkan standar ganda di Timur Tengah.

4. Konflik Air

Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar wilayah Timur Tengah adalah terdiri dari gurun pasir yang tandus. Meskipun dibawah gugusan pasir tersebut terdapat minyak bumi yang berlimpah, tetapi air menjadi problem tersendiri bagi sebagian besar wilayah Timur Tengah. Berdasarkan data yang diungkapkan ternyata Timur Tengah membutuhkan persediaan air sebesar 127,5 Miliar meter kubik setiap tahunnya. Dengan persediaan yang sebesar itu, hanya ada tiga Negara saja yang mempunyai sumber air, yaitu Mesir, Irak dan Sudan. sementara yang lainnya sangat bergantung dengan ketiga Negara tersebut.

Kondisi ini berakibat pada semakin urgen dan sekaligus langkanya air bagi kehidupan masyarakat Timur Tengah. Mesir dan Sudan merupakan daerah lintasan terbesar dan terpanjang sungai Nil sedangkan Irak menguasai sepenuhnya Sungai Tigris dan Euprat. Dari ketiga sungai inilah sungai-sungai kecil yang ada di negara-negara Arab lainnya airnya berasal, seperti sungai Yordan di Yordania. Tidak mengherankan jika di masa lalu pernah terjadi peperangan antara Israel dan Mesir untuk menguasai sumber air Sungai Nil dan perselisihan Israel dengan Yordania yang hendak mengontrol Sungai Yordan. Atau, perselisihan antara sesama negara Muslim yang melibatkan Turki dan Irak mengenai penguasaan Sungai Euprat.

5. Suku Kurdi

Para ilmuan dan pakar dunia mencatat bahwa satu-satunya suku bangsa besar dunia yang tidak memiliki negara adalah Suku Kurdi. Dengan populasi mencapai 30 juta jiwa, Suku Kurdi harus hidup terlunta-lunta di kawasan Timur Tengah, bandingkan dengan suku Melayu yang kini setidaknya memiliki 3 negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei.

Asal usul Suku Kurdi dapat dilacak dari sejarah Persia karena dari suku inilah mereka berasal. Saat ini suku Kurdi tersebar di beberapa Negara, yaitu: Turki, Irak dan Syiria. Namun demikian, nasib yang paling tragis dialami oleh Suku Kurdi di ketiga Negara tersebut adalah di Turki karena selalu diburu oleh pemerintah Turki akibat tuntutan merdeka mereka. Hingga saat ini, pertempuran antara pasukan Turki terus terjadi dengan pemberontak Kurdi bahkan hingga mencapai perbatasan dengan Irak. Tuntutan terbesar Kurdi untuk merdeka pun lebih lantang disuarakan dari wilayah-wilayah Kurdi yang dikuasai oleh Turki jika dibandingkan dengan di Irak dan Syiria. Melalui berbagai organisasinya, utamanya Partai Buruh Kurdi (PKK) yang dipimpin oleh Abdullah Ocalan, Kurdi terus menyuarakan kemerdekaannya dari Turki dan membentuk Negara tersendiri bernama Kurdistan, sementara di sisi lain Turki tetap berkomitmen untuk menjaga keutuhan wilayahnya. Di Syiria dan Irak suara kemerdekaan Kurdi tidak banyak disuarakan, bahkan salah astu tokoh utama Kurdi di Irak, Jalal Talabani, menjabat presiden Irak.

6. Minyak di Timur Tengah

Semenjak era industrialisasi yang merupakan implikasi dari revolusi industri di Prancis bergulir, maka otomatis penggunaan mesin menjadi sesuatu yang niscaya dan kebutuhan utama dalam kehidupan manusia. Mesin-mesin yang diperlukan manusia untuk berbagai kebutuhan tersebut tentu harus digerakkan oleh minyak. Sejak saat itulah menjadi sesuatu yang sangat bernilai dan diburu oleh banyak orang dan negara. Dengan demikian, secara otomatis pula negara atau kawasan yang memiliki cadangan minyak memainkan peranannya atau diperebutkan oleh banyak pihak.

Timur Tengah yang memiliki cadangan minyak terbesar di dunia menjadi pusat perhatian dunia, terutama negara-negara kuat, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Dengan berbagai dalih, Barat berupaya menguasai kawasan ini seperti yang tampak pada Perang Teluk dimana Amerika Serikat makin menancapkan pengaruhnya di kawasan ini. Akibatnya, peta politik Timur Tengah berubah drastis. Meskipun tidak semuanya tunduk dengan keinginan Barat, seperti yang diperlihatkan Iran, tetapi sebagian besar Timur Tengah berada dalam kontrol Barat.

Namun demikian, tidak selamanya minyak di Timur Tengah dikuasai oleh Barat. Hal ini terbukti dengan tekanan Raja Faisal dari Arab Saudi yang pernah memboikot pengiriman minyak ke Barat karena kritikannya terhadap standar ganda Amerika Serikat di Timur Tengah. Akibatnya, mesin-mesin industri di Barat lumpuh total selama beberapa waktu. Meskipun upaya ini tidak berlangsung lama, tetapi setidaknya memperlihatkan bagaiaman minyak dapat dijadikan komoditas politik di kawasan ini.

7. Timur Tengah dan Intervensi Asing

Tidak dapat dipungkiri bahwa Timur Tengah memiliki magnet yang selalu menyedot perhatian dunia. Akibatnya, kawasan ini selalu menjadi ajang pertarungan berbagai kekuatan dunia dari waktu ke waktu untuk menguasai dan mengontrolnya. Terdapat beberapa faktor yang membuat Timur Tengah selalu membuat kekuatan dunia ingin campur tangan di dalamnya.

  1. Posisi strategis Timur Tengah yang merupakan pintu gerbang ke berbagai tempat dunia, yaitu Eropa, Asia dan Afrika. Dengan demikian, maka dengan mengontrol kawasan ini maka secara otomatis mengontrol sebagian besar mobilitas dunia.
  2. Faktor historis Timur Tengah yang penuh dengan kejayaan dan kebanggaan. Lihatlah Palestina yang menjadi tempat suci tiga agama besar dunia; Islam, Kristen dan Yahudi. Selanjutnya, kawasan ini juga menjadi tempat lahir dan berkembangnya agama-agama besar dunia; Islam di Saudi Arabia dan Kristen dan Yahudi di Palestina. Peradaban-peradaban besar dunia juga pernah ada dan masih masih menyisakan peninggalannya di kawasan ini, seperti pyramid di Mesir dan peninggalan-peninggalan masa lampau yang berserakan di Irak dan Kota Batu Kuno di Perta Yordania.
  3. Karena faktor minyak yang merupakan bagian terbesar dunia yang berada di kawasan ini. Tercatat bahwa Arab Saudi dan Irak sebagai produsen minyak bumi terbesar di dunia, belum lagi jika ditambahkan dengan Iran, Uni Emirat Arab, Oman, Bahrain, Kuwait dan Yaman.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan campur tangan asing di Timur Tengah adalah untuk menguasai beragam keunggulan dan kelebihan yang dimiliki kawasan ini sebagai ‘ibu kota’ dan pusatnya dunia.

Melihat Kembali Sejarah Pendirian Negara Israel

Oleh: Pahrudin HM, M.A.

Israel kembali berulah. Negara Zionis yang ada di kawasan Timur Tengah atau tepatnya di tanah Palestina yang berada dekat Laut Mediterania ini untuk yang kesekian kalinya menyita perhatian dunia. Setelah sekian lama ‘mengangkangi’ wilayah Palestina dengan dukungan para sekutu setia, utamanya Amerika Serikat dan Inggris, kali Israel kembali membuat geram beragam kalangan di seluruh dunia dengan aksi yang dilakukannya. Semua orang tahu bahwa berdasarkan konvensi yang diakui dunia internasional bahwa misi kemanusiaan tidak boleh diganggu apalagi diserang bahkan hingga menimbulkan korban jiwa. Namun demikian, konvensi internasional ini seakan dianggap angin lalu saja oleh Israel, dalam hal ini militer Israel, karena dengan seenaknya menyerbu dan menyerang konvoi bantuan kemanusian internasional yang bertujuan untuk membantu warga Gaza yang dalam empat tahun terakhir menghadapi blokade Israel. Akibatnya tentu dapat ditebak, jatuhnya belasan korban jiwa para aktivis yang berasal dari berbagai negara di dunia ini.

Dari peristiwa ini kemudian tentu mengemuka pertanyaan, bagaimana mungkin Israel begitu berani melanggar aturan yang sudah disepakati secara internasional dengan menyerang bantuan kemanusiaan? Untuk menjawab kegelisahan yang mungkin mengemuka dalam benak banyak kalangan ini, barangkali dapat menelusuri sejarah pendirian negara Israel yang hingga saat ini masih belum diakui oleh sebagian besar negara-negara muslim, seperti Indonesia.

Israel yang kini menempati sebagian besar wilayah Palestina yang sementara beribukota Tel Aviv ini merupakan manifestasi dan perwujudan dari cita-cita besar kaum Yahudi. Setelah terlunta-lunta tanpa kejelasan nasib dan status serta ditambah lagi dengan tragedi ‘yang katanya’ pembantaian jutaan Yahudi oleh Nazi Jerman, maka tiga tokoh terkemuka Yahudi, yaitu Theodord Herzl, Max Nordau dan Prof. Mandelstamm mengadakan pertemuan dengan kelompok fundamental Yahudi yang dikenal dengan Zionis. Dari serangkaian pembicaraan tersebut disepakati untuk mendirikan sebuah negara yang dikhususkan untuk orang-orang Yahudi yang tersebar di seluruh penjuru dunia dengan menerapkan undang-undang dan aturan-aturan yang ada dalam agama Yahudi, terutama paham Zionisme. Pada awalnya, lokasi yang dipilih untuk menjadi negara Yahudi tersebut adalah Uganda yang ada di Benua Afrika. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Uganda dianggap tidak memenuhi persyaratan menjadi negara Yahudi, terutama karena tidak memiliki aspek historis dengan agama Yahudi yang akan mereka usung.

Upaya mewujudkan cita-cita Zionisme yang terus diupayakan ketiga tokoh Yahudi di atas tidak berhenti sampai di situ. Setelah Uganda dianggap tidak memenuhi kriteria yang mereka tetapkan, maka pilihan kemudian jatuh kepada Palestina. Ya, Palestina adalah sebuah negeri yang terletak di tepian Laut Mediterania, berbatasan langsung dengan negeri-negeri Arab lainnya seperti Yordania, Lebanon dan Mesir. Aspek terpenting dari penetapan Palestina sebagai tempat pendirian satu-satunya negara Yahudi di dunia adalah faktor kesejarahannya dengan agama Yahudi. Sebagaimana diketahui bahwa Palestina yang sangat lekat dengan Yerussalem (al-Quds) merupakan kota atau wilayah suci tiga agama besar dunia; Islam, Yahudi dan Kristen. Islam menetapkan Palestina sebagai wilayah suci karena menjadi tempat Masjid al-Aqsa yang menjadi salah satu persinggahan Nabi Muhammad kala melakukan Isra’ Mi’raj dan menjadi arah kiblat pertama salat sebelum berpindah ke Ka’bah di Mekah. Kristen menjadikan wilayah ini suci karena menjadi tempat kelahiran dan perkembangan pertama agama Kristen yang dibawa oleh Yesus Kristus. Wilayah ini juga menjadi tempat kelahiran Yesus dan penyalibannya yang senantiasa dikenang dan diingat oleh kalangan Kristen di seluruh dunia. Sedangkan Yahudi menganggap suci Palestina karena mereka meyakini bahwa di wilayah inilah tempat bersemayamnya kuil Sulaiman yang menjadi kebanggaan kalangan Yahudi. Lengkaplah status yang semakin menguatkan ambisi Yahudi untuk menjadikan Palestina sebagai tempat berdirinya negara Yahudi.

Untuk menjustifikasi ambisi besar Yahudi ini, maka kalangan Zionis kemudian melontarkan suatu pernyataan yang berfungsi sebagai pembenaran upaya mereka, yaitu: Tanah tak bertuan untuk orang-orang yang tidak mempunyai tanah. Bagi mereka, Palestina sesungguhnya tidak memiliki pemilik sehingga perlu diberikan kepada orang-orang (Yahudi) yang tidak memiliki tanah dan terlunta-lunta di berbagai belahan dunia. Ambisi besar ini seakan gayung bersambut, karena saat itu Palestina berada dalam kekuasaan Inggris. Dengan berbagai cara dan jalan, akhirnya pada tahun 1917 melalui Perjanjian Balfour (diambil dari nama tokoh politik luar negeri Inggris ternama) Inggris secara resmi mempersilahkan orang-orang Yahudi dari seluruh penjuru dunia untuk pindah dan menetap di Palestina.

Kebijakan ini pada awalnya ditentang keras oleh kalangan Arab karena dianggap menyerobot beragam wilayah yang selama ini merupakan pemukiman orang-orang Arab sejak bertahun-tahun yang lalu. Namun demikian, karena kuatnya dukungan Inggris dari segala bidang maka upaya Arab tersebut tidak pernah berhasil, bahkan negara Yahudi yang selama ini dicita-citakan berdiri dengan segala kekuatannya yang sangat besar. Dari tahun ke tahun negara Israel yang berdiri di atas tanah Palestina terus menancapkan pengaruhnya tidak hanya di wilayah Palestina, tetapi juga di kawasan Timur Tengah pada umumnya. Meskipun cita-cita terbesar Yahudi telah terwujud dengan adanya Israel di tengah negara-negara Arab, tetapi satu hal yang terus membuat mereka tidak henti-hentinya berusaha adalah menjadikan Yerussalem (al-Quds) sebagai ibu kotanya. Upaya ini memang hingga saat ini belum dapat terealisasi karena kuatnya penolakan dari dunia internasional, tetapi bukan tidak mungkin suatu saat akan terwujud jika melihat sepak terjang Israel belakangan ini dan kondisi umat Islam serta negara-negara Arab yang kian hari kian tidak berdaya.

Jika melihat sumberdaya alam yang ada di Palestina yang kini dikuasai oleh Israel maka sebenarnya tidak cukup membuat negara Zionis ini begitu powerfull di kawasan Timur Tengah. Apa sesungguhnya yang membuatnya begitu disegani dan berani melanggar beragam aturan internasional? Tidak lain adalah dukungan yang tidak terhingga dari Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara Barat lainnya. Lihatlah pernyataan terbaru dari Hillary Clinton (Menlu AS) beberapa waktu lalu yang secara terang-terangan mengatakan bahwa Amerika Serikat dibawah Obama akan memberikan dukungan penuh terhadap Israel. Dapat dimengerti memang karena kekuasaan sesungguhnya yang ada di Amerika Serikat adalah terletak pada orang-orang Yahudi di Negeri Paman Sam tersebut. Lihatlah bagaimana pengaruh lobi Yahudi yang turut menentukan kemenangan seorang presiden di negeri adidaya tersebut. Contoh terbaru tentunya apa yang dialami oleh Obama yang begitu kental dengan lobi Yahudi sehingga mengantarkannya sebagai presiden kulit hitam pertama dalam sejarah Amerika Serikat. Setelah seorang presiden Amerika Serikat terpilih, maka secara otomatis ia akan menerapkan beragam kebijkan yang sangat menguntungkan Israel sebagai satu-satunya negara yang mengaktualisasi ajaran Yahudi di dunia. Jika Amerika Serikat sebagai superpower dunia saja sudah terang-terangan membantu sepenuhnya Israel, maka negara-negara lainnya yang menjadi sekutunya akan turut melakukan hal yang sama. Lihatlah Inggris, Prancis dan Australia bahkan Mesir dan Arab Saudi sekalipun yang tidak berbuat banyak atas beragam tindakan Israel.

Di samping hal di atas, satu hal yang membuat Israel begitu jumawa, terutama dari aspek ekonomi, adalah bantuan keuangan yang selalu mengalir ke pundi-pundi Israel dari Jerman. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu propaganda Zionis dalam upaya mereka mendirikan Israel adalah menyebarkan ‘fakta’ pembantaian jutaan Yahudi oleh Nazi Jerman yang biasa dikenal dengan Holocoust. Propaganda peristiwa Holocoust ini terus dipelihara oleh Zionis untuk memuluskan jalan mereka menuju pendirian dan penguatan Israel tanpa ada seorang pun yang mampu menolaknya. Kalaupun ada yang muncul ke permukaan untuk mencoba membantah propaganda tersebut biasanya tidak berarti apa-apa berhadapan dengan begitu dahsyatnya kekuatan Yahudi yang menopangnya. Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana komentar Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad mengenai Holocoust ini. Menurut Ahmadinejad, peristiwa Holocoust hanya propaganda Yahudi untuk memuluskan ambisi mereka untuk mendirikan Negara Israel karena beberapa fakta sejarah membuktikan bahwa jumlah orang-orang Yahudi yang dibunuh Nazi sangat jauh kurang dari jumlah jutaan sebagaiman yang diklaim oleh Yahudi. Lebih lanjut, menurut Ahmadinejad, kalaupun Holocoust benar-benar terjadi mengapa Palestina yang mesti mendapat getahnya, bukankah Holocoust itu terjadi di Eropa. Dengan demikian, masih menurut Ahmadinejad, jika Holocoust dijadikan alasan pendirian Negara Israel maka seharusnya lokasi yang dipilih berada di Eropa tempat terjadinya peristiwa Holocoust yang selalu didengung-dengungkan tersebut.

Sebagai kompensasi peristiwa tersebut yang disepakati dunia internasional atas lobi Yahudi, maka setiap tahun pemerintah Jerman mengirimkan bantuan keuangan yang sangat besar kepada pemerintah Israel. Dari sejumlah dana yang sangat besar yang diakumulasi dari dana Jerman, perusahaan-perusahaan internasional yang berafiliasi dengan Yahudi serta Amerika Serikat dan Inggris, maka jadilah Israel sebagai salah satu kekuatan utama dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah.

Dengan demikian tidak mengherankan jika untuk kesekian kalinya Israel melanggar beragam konvensi internasional, bahkan kepada misi bantuan kemanusiaan sekali pun. Sejak awal pendirian negara ini telah jelas-jelas merupakan campur tangan dan dukungan kuat Inggris sebagai salah satu kekuatan yang memiliki peran strategis dalam percaturan dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, Amerika Serikat terbukti terang-terangan akan mengerahkan segala daya dan upayanya untuk membantu sekutu utamanya di Timur Tengah ini. Jika dianalogikan dengan anak kecil, maka Israel adalah anak emas yang sangat disayang dan dimanja serta segala keinginannya selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya, Amerika Serikat dan Inggris, yang kebetulan memiliki kekuatan yang besar dan tak terbatas di dunia. Kalau ada orang lain (baca: negara lain) yang mencoba mengganggu ketenangan dan keinginan sang anak (baca: Israel), maka kedua orang tuanya tidak segan-segan mengambil segala tindakan. Beberapa kali memang ‘kedua orang tuanya’ ini terlihat agak marah kepada ‘sang anak’ atas beberapa tindakannya, akan tetapi upaya ini tidak lain hanya sekedar untuk memperlihatkan citra positifnya di mata ‘para tetangganya’. Sesungguhnya kemesraan ‘sang anak’ dan ‘kedua orang tuanya’ tetap selalu terjalin karena sebenarnya mereka memiliki tujuan yang sama, atau paling tidak simbiosis mutualisme benar-benar bekerja dengan baik.

_____________________

Tulisan ini merupakan elaborasi penulis dari berbagai sumber.

Yogyakarta, 3 Juni 2010.

Kajian Semiotik Riffatere Terhadap Puisi Arab

Oleh : Pahrudin HM, M.A.

Pengantar

Setiap orang memiliki cara yang seringkali berbeda dalam mengungkapkan pandangannya atau pemikirannya terhadap realitas yang ada di sekitar dan yang ditemuinya. Ada yang mengetengahkannya secara langsung di hadapan pembaca sehingga mereka dapat langsung memahami apa yang dimaksudkan. Tetapi tidak jarang justru adanya penggunaan cara yang sepintas lalu belum dapat dipahami karena menggunakan beragam kata yang berarti tidak langsung. Cara yang kedua inilah yang lazim digunakan oleh para penyair untuk mengetengahkan beragam pandangan dan isi hatinya dalam beragam karya sastra. Penggunaan kata yang berarti tidak langsung atau simbol dalam sebuah karya sastra di samping untuk membedakannya dengan karya tulis biasa, juga agar timbul nuansa keindahan dalam rangkaian katanya serta yang tak kalah pentingnya agar tercipta sebuah proses pemahaman yang mendalam bagi para penikmat karya tersebut.

Penggunaan ungkapan seperti di atas pula yang dilakukan oleh seorang sastrawati kawakan Lebanon, Nuhad Wadī’ Haddād atau yang lebih dikenal dengan Fairūz yang dilahirkan di Beirut 21 November 1935, untuk mengungkapkan isi hati sekaligus juga pandangannya tentang Palestina dalam puisinya berjudul al-Quds al-‘Atīqah. Dalam puisi yang dimuat dalam situs internet www.arabicpoem.com ini, penyair yang banyak mendapat penghargaan sastra ini, mengetengahkan dan mengungkapkan pengalamannya saat berkunjung ke negeri yang selalu mengalami masa-masa pergolakan sepanjang zaman hingga seakan-akan tak berkesudahan ini.

Dalam puisi yang memaparkan pantauannya di beberapa sudut Palestina ini, sastrawati yang juga penyiar radio ini mengetengahkan di hadapan penikmat karya sastra sebuah realitas. Realitas yang patut jadi bahan renungan, yaitu bahwa negeri yang menjadi tempat berkumpulnya agama-agama samawi ini tengah menghadapi kondisi yang sangat memprihatinkan dengan memikul beban yang terlampau berat hingga berdampak negatif bagi kehidupan masyarakatnya. Keadaan yang tidak menentu terus dialami masyarakat negeri ini sejak berabad-abad lampau, utamanya sejak terjadinya serangkaian Perang Salib tahun 1095-1291 M hingga perang Arab-Israel yang berujung pada terpecahnya negara Palestina tahun 1946-1948 (Hitti, 2005: 808-836; Yatim, 2006: 76-79). Keadaan yang tidak kondusif ini terus berlangsung sepanjang waktu, bahkan hingga di era modern ini.

Untuk menggambarkan kondisi memprihatinkan yang dialami negeri tetangganya ini, sastrawati yang juga penyanyi ini mengungkapkannya dengan menggunakan simbol. Beberapa simbol yang dipakai Fairūz dalam gubahan puisi ini antara lain: “jalanan yang sepi dari lalu lalang manusia”, pertokoan yang kusam dan semberawut”, “taman-taman yang tak berbunga”, “malam yang sunyi senyap”, “rumah-rumah yang tak berpenghuni”, dan lain sebagainya. Fairūz

Begitu banyak simbol yang diketengahkan penyair dalam puisi ini mengisyaratkan satu hal bahwa ketidakmenentuan kondisi yang menyelimuti masyarakat Palestina telah sedemikian mengkhawatirkan. Ketentraman dan kesejahteraan yang menjadi harapan banyak orang akan sulit terwujud jika kondisi yang melingkupinya tidak kondusif. Dengan pengetengahan puisi ini penyair berharap agar masyarakat pembaca tergugah dan tergerak hati nuraninya untuk bersama-sama membantu penyelesaian masalah yang dialami masyarakat Palestina.

Meskipun demikian, apa yang diungkapkan penyair dalam puisi ini tidak serta merta dapat dipahami oleh pembaca. Dengan demikian, agar metaphora-metaphora yang diungkapkan penyair tersebut semakin bermakna dan dapat dimengerti oleh pembaca, maka penyelidikan dengan menggunakan teori semiotik menjadi penting, sehingga pada gilirannya akan didapatkan atau ditemukan maksud dan tujuan penggubahan puisi ini.

Landasan Teori

Beragam teori sastra telah dilahirkan oleh beragam pakar yang berkecimpung dalam bidang ini. Ada teori sastra yang memfokuskan kajiannya terhadap penulis yang menghasilkan sastra tersebut dan ada pula yang menikberatkan pada karya sastra yang dihasilkannya serta tidak ketinggalan perhatian kepada lingkungan atau situasi yang menjadi tempat lahirnya karya sastra tersebut. Berangkat dari relaitas inilah kemudian Abrams muncul dengan memaparkan beberapa pendekatan kritis untuk menanggapi hal ini, dimana menurutnya terdapat empat pendekatan dalam karya sastra, yaitu: ekspresif atau ekspresi pengarang, pragmatik atau mencapai efek-efek tertentu, objektif atau kebebasan dari lingkungan dan mimetik atau tiruan atau cerminan (Pradopo, 1997: 26-27; Pradopo, 1995: 140, Teeuw, 1984: 50).

Dari beberapa pendekatan kritis ini kemudian lahir sekian ragam teori sastra yang dikemukakan oleh para ahli. Dan di antara beragam teori tersebut, terdapat sebuah teori yang dibangun berdasarkan suatu asumsi bahwa sebuah karya sastra itu sendiri dari tanda-tanda atau simbol yang dapat diinterpretasikan atau ditafsirkan. Teori yang dimaksudkan adalah apa yang kemudian dikenal sebagai teori semiotik.

Semiotik adalah suatu metode analisis untuk mengkaji suatu tanda (Nurgiantoro, 2000: 40). Di samping itu, teori ini seringkali juga disebut sebagai suatu ilmu yang mempelajari objek-objek, peristiwa-peristiwa dan seluruh gejala kebudayaan yang ada sebagai tanda (Eco, 1978: 6-7). Atau, sebagian lain menyebutnya sebagai suatu disiplin yang menyelidiki suatu bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs (tanda-tanda) dan berdasarkan pada sign system (code) atau sistem tanda (Segers, 2000: 4). Suatu tanda mempunyai dua aspek, yaitu: penanda (signifer) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu yaitu artinya (Pradopo, 2001: 71).

Untuk keperluan penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori semiotik seperti yang dikemukakan oleh Michael Riffatere dalam buku Semiotics of Poetry, dimana bersama dengan Roland Barthes, Riffatere mengkaji semiotik melalui pendekatatan model post-strukturalisme. Mereka mendasarkan pendapatnya pada suatu asumsi bahwa jika makna hanya ditelaah hanya melalui strukturnya yang dilambangkan dalam kata, maka tidak akan selamanya mampu menampung hakekat makna. Hal ini terjadi karena dalam konteks bahasa sastra yang kompleks, tidak jarang esensi makna justru terdapat di luar makna tersebut, atau makna tidak selalu hadir sesuai dengan penanda strukturnya (Fannanie, 2001: 144-145).

Sebagai implementasi dari pemikiran dan pernyataan tersebut, kemudian Riffatere menulis sebuah buku berjudul Semiotics of Poetry yang memaparkan empat hal penting yang harus dipenuhi dalam pengungkapan sebuah karya sastra. Keempat hal penting tersebut adalah sebagai berikut (Eco, 1978: 6-10; Pradopo, 2001: 75-85; Pradopo, 1990: 30-246; Endraswara, 2006: 63-67) :

  1. Puisi adalah ekspresi tidak langsung. Hal ini berarti bahwa ekspresi tersebut memiliki arti lain ketika diungkapkan. Adapun sebab-sebabnya adalah : a) penggantian arti; b) penyimpangan arti; c) penciptaan arti.
  2. Pembacaan heruistik dan hermeneutik. Pada tahap pertama puisi dibaca dengan pembacaan heruistik, yaitu pembacaan yang bertumpu pada tata bahasa, baik dari aspek gramatikal, bunyi ataupun artinya. Metode ini dinamakan Semiotik Tingkat Pertama atau first order semiotics. Akan tetapi, penerapan langkah pertama ini ternyata tidak sampai pada arti yang sebenranya yang dikehendaki oleh penyair. Untuk itu, dibutuhkan metode yang kedua, yaitu pembacaan hermeneutik untuk mendapatkan arti yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh penyair. Metode ini dinamakan dengan Semiotik Tingkat Kedua atau second order semiotics.
  3. Untuk memperjelas (dan mendapatkan) makna puisi (karya sastra) secara lebih mendalam, maka selanjutnya dicari tema dan masalah yang terkandung dalam puisi tersebut. Adapun caranya adalah dengan mencari matriks, model, dan varian-varian-nya terlebih dahulu. Suatu ‘matriks’ harus diabstraksikan dari sebuah karya sastra yang dibahas dan tidak dieksplisitkan di dalamnya. Bukan berupa kiasan, tetapi merupakan kata kunci (keyword) yang dapat berupa satu kata, kalimat dan lain sebagainya. Suatu ‘matriks’ belum merupakan tema, tetapi mengarah kepada tema yang dicari. Matriks juga merupakan hipogram intern yang ditransformasikan ke dalam model yang berupa kiasan yang selanjutnya menjadi ‘varian-varian’. Varian ini merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda: baris atau bait, bahkan juga bagian-bagian fiksi, seperti: alinea dan bab yang merupakan wacana yang selanjutnya menjadi ‘masalahnya’. Dari ‘matriks’, ‘model’ dan ‘varian-varian’ ini baru dapat ‘disimpulkan’ atau ‘diabstarksikan’ tema sebuah karya sastra.
  4. Seringkali terjadi sebuah karya sastra merupakan transformasi dari teks (lain) sebelumnya yang menjadi ‘hipogram’-nya, yaitu teks yang menjadi latar belakang terciptanya karya sastra tersebut. Hipogram di sini tidak hanya terbatas pada teks yang berupa tulisan, bahasa dan cerita lisan saja, akan tetapi –sebagaimana menurut Teeuw dan Julia Cristiva bahwa dunia dan alam ini pada hakekatnya adalah teks (Teeuw, 1983: 65)- dapat juga berupa adat istiadat, masyarakat dan aturan-aturan.

Analisis Terhadap al-Quds al-‘Atīqah

Untuk mendapatkan pengertian dan pemahaman yang mendalam terhadap puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz, maka berikut ini akan dilakukan langkah-langkah analisis menggunakan teori semiotik Riffatere.

1. Teks Puisi

Al-Quds Yang Agung

Aku menyusuri jalanan

Jalan-jalan al-Quds yang agung

Di depan pertokoan yang tersisa di Palestina

Kami menceritakan sebuah berita

Mereka memberiku vas bunga

Mereka berkata kepadaku: sebuah hadiah

Dari para penjaga manusia

Aku berjalan di jalanan

Jalan-jalan al-Quds yang agung

Berhenti di depan pintu penjagaan

Ia dan kami menjadi sahabat

Dan kedua mata mereka berlinang kesedihan

Karena penderitaan kota

Ia membawa dan menunjukkanku kepedihan derita

Berada di atas bumi dengan beragam problem sosial

Masalah kependudukan di bawah matahari dan di antara angin

Ia ada di rumah-rumah dan remaja

Ada pada anak-anak yang di tangannya buku

Malam-malamnya penuh kesedihan

Dan kedua tangannya kehitaman terlepas dari gerbang

Hingga membuat rumah-rumah tak berpenghuni

Di antara mereka seperti duri dan api

Kedua tangannya kehitaman

Jalan-jalan penuh dengan suara hiruk pikuk

Jalan-jalan al-Quds yang agung

Tanpa nyayian yang terbang bersama topan dan kesia-siaan

Hai suaraku! Naunganmu terbang bersama rintihan suara hati

Kabarkan kepada mereka kelemahanku dengan segala kerelaan hati

2. Pembacaan Heruistik

Langkah pertama yang dilakukan dalam penelaahan puisi ala Riffatere adalah pembacaan ‘heruistik’, yaitu pembacaan bait-bait puisi berdasarkan struktur kebahasaannya. Selanjjutnya, agar semakin memperjelas arti yang terkandung di dalamnya maka jika dianggap perlu dapat diberi sisipan kata atau sinonimnya yang diletakkan dalam tanda kurung. Demikian juga dengan struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif), dan jika diperlukan susunannya dibalik untuk dapat semakin memperjelas arti.

Berikut ini adalah pembacaan heruistik terhadap puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz ini.

Bait pertama

Aku (berjalan) menyusuri jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan al-Quds (Yerussalem) yang agung. (Ketika sampai) di depan pertokoan yang (masih) tersisa dari Palestina, (maka kemudian) kami menceritakan (menyampaikan) sebuah berita (kepada penduduknya), mereka (pun membalasnya dengan) memberiku vas bunga, (sambil) mereka berkata kepadaku: (ini) sebuah hadiah, dari para penjaga manusia (yang tersisa dari negeri ini).

Bait Kedua

Aku (terus) berjalan di jalan-jalan. (Yaitu) Jalan-jalan al-Quds (Yerussalem) yang agung. (Kemudian aku) berhenti di depan gerbang (kota), ia (masyarakat) dan kami (rombongan) menjadi sahabat (yang saling mengenal), dan (kemudian dari) kedua mata mereka berlinang kesedihan, karena penderitaan (yang dialami oleh) kota (ini).

Bait Ketiga

(Kemudian) ia membawa (menuntun) dan menunjukkanku (memperlihatkan kepadaku) kepedihan derita (penderitaan yang dialami oleh kota ini, (sebuah negeri yang) berada di atas bumi dengan beragam problem sosial, (begitu juga dengan) persoalan kependudukan di bawah matahari dan di antara angin (beragam problem yang tak kunjung usai), (dan karena banyaknya problem tersebut maka) ia ada (dapat dijumpai) di (dalam) rumah-rumah dan remaja, (masalah tersebut juga) ada di anak-anak (bersekolah) yang di tangannya buku, (akibatnya) malam-malamnya penuh (dengan) kesedihan, (sehingga membuat) kedua tangannya kehitaman terlepas dari gerbang (yang menjadi pegangan). (akibat selanjutnya) hingga membuat rumah-rumah tak berpenghuni (karena ditinggal penghuninya), (dan kadang-kadang) di antara mereka (penduduk negeri ini) seperti duri dan api (yang sewaktu-waktu dapat saling menyakiti), (karena) kedua tangannya kehitaman.

Bait Keempat

Jalan-jalan penuh suara hiruk pikuk (penduduk kota), (yaitu) jalan-jalan al-Quds (Yerussalem) yang agung, (suara-suara tersebut) tanpa nyanyian (karena) terbang bersama (angin) topan dan kesia-siaan (tan berarti apa-apa). (maka kemudian aku berteriak) Hai suaraku! Naunganmu terbang (lenyap) bersama rintihan suara hati, (karena itu) kabarkanlah kepada mereka (orang-orang di seluruh dunai) kelemahanku dengan segala kerelaan hati.

3. Pembacaan Hermeneutik

Langkah selanjutnya dalam penelaahan puisi menurut Riffatere adalah pembacaan ‘hermeneutik’ (retroaktif) atau penafsiran puisi yang dilakukan dengan cara ‘hermeneutik’ berdasarkan konvensi sastra, yaitu sistem semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra dimaksud menurut Riffatere (Pradopo, 2001: 102) di antaranya adalah konvensi ketidak langsungan arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti. Penggantian arti berujud pada penggunaan metaphora dan metonimi atau bahasa kiasan, dan penyimpangan ari disebabkan oleh ambiguitas (arti ganda), kontradiksi (pertentangan arti) dan ‘nonsense’ (tidak memiliki arti secara linguistik), sedangkan penciptaan arti disebabkan oleh pemanfaatan bentuk visual, misalnya persajakan dan tipografi.

Dalam penelaahan menggunakan pembacaan ‘retroaktif’ terhadap puisi ini, maka terutama akan dilakukan terhadap bahasa kiasan atau secara khusus lagi terhadap metaphora atau ambiguitas yang terdapat di dalamnya. Adapun lebih jelasnya, sebagaimana berikut ini:

“al-Quds yang agung”, berarti Yerussalem atau Palestina yang sebenarnya mulia akan tetapi penuh dengan penderitaan akibat konflik yang berkepanjangan. Adapun secara keseluruhannya tafsiran terhadap puisi ini adalah sebagai berikut ini :

  1. Penderitaan berkepanjangan yang menimpa Palestina perlu mendapat perhatian yang lebih serius dengan cara melihat kondisinya secara langsung. Hal ini karena masyarakatnya sangat mendambakan perhatian, kepedulian dan bantuan dari masyarakat dunia lainnya.
  2. Dengan menyaksikan kondisi secara langsung, maka akan dapat diketahui pula apa sesungguhnya yang dialami oleh masyarakat Palestina. Dengan demikian, bantuan yang akan diberikan menjadi tepat pada sasaran yang dibutuhkan oleh masyarakat negeri ini.
  3. Persoalan yang membelit Palestina meliputi seluruh aspek kehidupan yang dilalui  masyarakatnya. Mulai dari persoalan sosial, pendidikan, kependudukan, ekonomi, keamanan dan lain sebagainya yang dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat dari anak-anak, remaja hingga orang tua.
  4. Persoalan yang menimpa Palestina telah berlangsung sangat lama, akan tetapi makin berkembang pesat sejak pendirian negara Zionis Israel di tanah Palestina. Meskipun demikian, persoalan yang membelit Palestina tersebut bukan hanya berkaitan dengan Israel saja, tetapi juga di antara sesama warga Palestina sendiri. Persoalan ini muncul karena perbedaan pandangan antara kelompok sekuler yang diwakili oleh Fatah dengan PLO-nya yang cukup akomodatif terhadap Israel dan kelompok Islam dengan Hamasnya yang sangat anti Israel. Kedua kelompok ini saling mengklaim mendapat dukungan masyarakat Palestina sehingga sering timbul pertentangan dan peperangan yang tidak jarang memakan korban jiwa dan harta benda.
  5. Karena konflik yang berkepanjangan, baik dengan Israel maupun sesama mereka, banyak warga Palestina yang memilih meninggalkan tanah airnya dan pindah ke negara-negara tetangga seperti Yordania dan Lebanon.
  6. Kondisi masyarakat Palestina yang penuh dengan penderitaan ini harus terus disuarakan, disampaikan dan diberitakan ke seluruh dunia agar masyarakat seluruh jagad tahu apa yang dialami oleh negeri di Timur Tengah ini.

4. Tema dan Masalah al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz

Jika merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Riffatere (Pradopo, 2001: 102; Endraswara, 2006: 65), maka untuk dapat mengetahui isi kandungan puisi ini diperlukan upaya pencarian tema dan masalah yang terdapat di dalamnya. Meskipun demikian, tema dan masalah yang terdapat dalam sebuah puisi tidak serta merta dapat ditemukan dan didapatkan, tetapi hendaknya dicari terlebih dahulu matriks, model, dan varian-varian-nya.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ‘matriks’ yang menjadi kata kunci dari puisi ini adalah ‘jalan-jalan Palestina’. Hal ini karena ‘jalan-jalan Palestina’ menjadi sesuatu yang sentral dan menjadi titik tolak dari penelusuran penyair dalam mengungkapkan gambaran Palestiana sebagaimana yang diamatinya. Selanjutnya, dalam pengamatan peneliti, seakan-akan penyair sengaja ingin mengarahkan pembaca bahwa jika ingin mengetahui bagaimanakah Palestina, maka telusurilah ‘jalan-jalan al-Quds’ niscaya akan dijumpai apa yang ingin kita ketahui.

Adapun ‘model’ sekaligus juga ‘varian-varian’-nya adalah bahwa pada bait pertama penyair mengetengahkan gambaran Palestina melalui jalan-jalan secara umum, dimana terdapat gambaran bangunan yang masih tersisa akibat pertikaian serta sambutan yang hangat dari penduduknya dengan ungkapan terima kasih mereka. Beranjak pada bait kedua, penyair mulai sedikit lebih terperinci menggambarkan bagaimana potret Palestina tersebut di dalam puisinya, seperti sambutan yang kembali sangat meriah sambil menceritakan kesedihan-kesedihan yang mereka alami. Pada bait ketiga, dengan secara jelas dan sangat mendetail penyair mengetengahkan apa sebenarnya yang dihadapi Palestina dengan segudang persoalannya. Pada bait ketiga ini, penyair mengetengahkan persoalan-persoalan Palestina; sosial, keamanan, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Terakhir, pada bait keempat penyair mengungkapkan terjadinya puncak akumulasi persoalan-persoalan yang dihadapi Palestina tersebut, seperti terjadinya kekisruhan di jalan-jalan dalam demonstrasi serta penyesalan penyair kenapa ia tidak mampu untuk membantu, sekaligus juga kritikannya kepada pihak-pihak yang tidak menggubris realitas ini dengan sungguh-sungguh.

Dengan diketahuinya ketiga hal yang penting di atas, maka selanjutnya dapat dinyatakan tema dan masalah yang terdapat dalam puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz ini. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tema puisi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “konflik yang berkepanjangan membentuk akumulasi beragam persoalan yang menimpa Palestina sehingga menyebabkan rakyatnya hidup dalam kesengsaraan dan keterbelakangan dalam segala hal dan setiap saat mereka senantiasa mengharapkan bantuan dalam bentuk apa pun dari orang-orang yang bersimpati di seluruh dunia”.

5. Hipogram Puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz

Penentuan hipogram atau latar belakang terciptanya sebuah puisi jika merujuk pada pengertian sempit, yaitu berupa karya sastra yang sama, maka akan sangat sulit dilakukan. Meskipun demikian, jika kembali kepada pendapat yang dikemukakan oleh Teeuw dan Cristiva (Teeuw, 1983: 65; Pradopo, 2001: 82), bahwa pada hakekatnya alam ini adalah hipogram, maka dapat disimpulkan bahwa latar belakang penciptaan puisi ini adalah Palestina dengan segala persoalan yang dihadapinya.

Hal ini karena berdasarkan beberapa alasan yang peneliti temukan, yaitu pertama bahwa kata ‘al-Quds’ yang melekat pada judul puisi ini dan disebutkan sebanyak tiga kali dalam bait-baitnya adalah merujuk pada kota al-Quds atau yang biasa juga dikenal dengan Yerussalem yang terdapat di Palestina. Kedua, terdapat kata ‘Palestina’ di baris ketiga pada bait pertama yang sangat jelas merujuk pada negeri Palestina yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Lebanon, tanah kelahiran dan tempat tinggal penulis puisi ini. Ketiga, telah menjadi kebiasaan dan tuntutan tugas Fairūz sebagai selebritas, pelaku budaya dan sastrawati Lebanon untuk melakukan lawatan ke berbagai negara dalam beragam event kebudayaan dan di tempat yang dikunjunginya tersebut ia biasa menulis puisi menceritakan apa yang ditemuinya. Palestina adalah negara tetangganya yang telah berulangkali dikunjunginya, apalagi ia juga pernah menerima penghargaan dari pemerintah negeri ini. Dengan demikian, dapat dipahami jika puisi ini merupakan bentuk apresiasinya yang mendalam terhadap kondisi yang dialami masyarakat Palestina.

Kesimpulan

Berdasarkan penelaahan yang dilakukan peneliti terhadap al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz dengan menggunakan teori semiotik Riffatere sebagaimana di atas, maka didapatkan beberapa kesimpulan berikut ini, yaitu:

  1. Simbol atau kata berarti tidak langsung yang terdapat dalam puisi al-Quds al-‘Atīqah karya Fairūz merupakan cara penyair untuk mengetengahkan pandangannya mengenai Palestina. Meskipun demikian, simbol-simbol tersebut hanya dapat dipahami dengan menggunakan tahapan-tahapan penelaahan puisi menurut cara Riffatere.
  2. Palestina adalah sebuah wilayah strategis di Timur Tengah yang dapat menghubungkan beberapa kawasan dengan kawasan lainnya serta memiliki nilai historis yang tinggi. Meskipun demikian, wilayah ini terus mengalami pergolakan yang berkepanjangan antara beberapa kekuatan yang hendak menguasainya, baik dari luar maupun dari dalam Palestina. Akibatnya, kehidupan masyarakatnya menjadi terabaikan, jauh dari kedamaian, kesejahteraan serta beragam persoalan lain. Setiap saat rakyat Palestina menanti uluran tangan dan bantuan dari pihak manapun yang bersimpati dengan penderitaan yang mereka alami.

_______________

Catatan :

Di antara penghargaan yang pernah diterima Fairūz sebagai sastrawati Lebanon adalah Medali Kehormatan dari Pemerintah Lebanon tahun 1957, 1962-1963 dan dari Pemerintah Syiria tahun 1967. Di samping itu, beberapa penghargaan lain juga pernah mampir di tangannya, seperti dari Yordania (1975 dan 1998), Prancis (1988 dan 1997), Palestina (1997), dan Tunisia (1997). Lebih lanjut, dapat ditemukan dalam: www.arabicpoem.com/fairuz.

PLO adalah Palestinian Liberation Organization atau organisasi perlawanan Palestina yang menjadi wadah politik bagi kelompok Fatah dalam memperjuangkan cita-cita Palestina menurut pandangan mereka. Sedangkan Hamas adalah Harakah Muqāwamah al-Islāmiyyah yang berarti gerakan perlawanan Islam yang menjadi wadah politik bagi kelompok Islam di Palestina dalam memperjuangkan cita-cita mereka. Di antara implementasi dari gerakan ini adalah munculnya perlawanan terhadap pendudukan Palestina oleh Israel dengan menggunakan batu yang sangat terkenal dengan nama ‘Intifadhah’.

DAFTAR PUSTAKA

Eco, Umberto. 1978. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press

Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: PT. Pustaka Widyastama.

Fannanie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Cetakan Kedua. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

————-. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Pradopo, Rachmad Djoko. 1995. Beberapa Teori sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

————————————–. 2001. Penelitian Sastra Dengan Pendekatan Semiotik. Dalam “Metodologi Penelitian Sastra”. Drs. Jabrohim (ed.). Yogyakarta: PT. Hanindita.

————————————-. 1997. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

————————————. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Segers. Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

http://www.arabicpoem.com/fairuz.