Daily Archives: 30 Juni 2010

Kearifan-Kearifan Lokal di Tabir Ilir-Jambi

Oleh: Pahrudin HM, MA.

Sebagai bagian masyarakat Melayu yang umumnya menjadi suku orang-orang yang ada di Pulau Sumatera, sejak dahulu masyarakat Jambi memang dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan dan tradisi. Tradisi ini terutama berkaitan dengan alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dan aspek integral masyarakat Jambi. Keseharian hidup masyarakat Jambi memang tidak dapat dilepaskan dengan alam, terutama dengan beragam sumberdaya alam yang ada di kawasan ini.

Salah satu masyarakat Jambi yang memiliki tradisi yang kuat adalah Tabir Ilir yang beberapa tahun lalu memekarkan diri dari Tabir. Tradisi masyarakat lazim juga disebut sebagai kearifan lokal (indigenous knowledge) yang secara sederhana dapat didefenisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu yang mencakup di dalamnya sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkaitan dengan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari.[1] Sepintas lalu kearifan lokal memang telah ‘terkubur’ seiring dengan serbuan kapitalisme yang menerpa setiap sendi kehidupan masyarakat dengan mengatasnamakan pembangunan. Di masa lalu, kearifan lokal memang mengemuka dalam terminologi pantangan yang bercorak religius-magis dan aturan adat[2], sedangkan dalam konteks sekarang, pengetahuan lokal tidak lagi dipandang sebagai takhayul (superstition), akan tetapi telah mengajarkan manusia pada kerendahan hati dan kebutuhan untuk belajar dari suatu komunitas sebelum kita mengajari mereka.[3] Namun demikian, sesungguhnya kearifan lokal tidak hanya menyangkut pengetahuan masyarakat lokal mengenai sumberdaya alam yang ada di sekitarnya, tetapi juga berhubungan dengan kehidupan yang mereka jalani.

1. Lubuk Larangan

Lubuk Larangan adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang dalam bidang perairan (sungai) yang ada dalam masyarakat Sumatera umumnya dan Tabir khususnya. Hal ini dilakukan dengan cara menetapkan zona-zona tertentu di sepanjang aliran sungai yang tidak boleh ada masyarakat yang melakukan aktivitas apapun di tempat itu. Segala sumberdaya (resources) yang ada dalam zona-zona tersebut, seperti ikan, dilarang untuk dimanfaatkan oleh masyarakat kecuali pada waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan.

Dalam konteks masyarakat Tabir Ilir, Lubuk Larangan diterapkan pada bagian-bagian sungai yang dianggap memiliki sumberdaya ikan yang melimpah, yaitu bagian sungai yang memiliki kedalaman lebih dibandingkan yang lain atau dalam bahasa lokal dikenal dengan ‘lubuk’. Untuk menjaga agar kearifan lokal ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diciptakanlah beragam mitos yang bertujuan untuk menghindarkan masyarakat dari zona-zona tersebut. Mitos yang biasanya mengemuka adalah bagi yang menangkap ikan di tempat tersebut akan terserang gila, dan bagi yang memakannya akan sakit perut serta ada sejenis makhluk halus yang selalu menjaganya. Sumberdaya yang ada di Lubuk Larangan hanya dapat dimanfaatkan masyarakat pada waktu-waktu tertentu yang ditetapkan. Biasanya waktu ‘memanen’ sumberdaya Lubuk Larangan adalah pada perayaan Hari Raya Idul Fitri, dimana masyarakat bersama-sama mengambil ikan yang ada di dalamnya dan membagi-bagikannya.  Penetapan zona-zona Lubuk Larangan terbukti mampu menghindarkan sungai dari ancaman degradasi sebagaimana yang akhir-akhir ini marak dilakukan. Di samping itu, secara ekonomi masyarakat juga terbantu dengan ‘panenan’ Lubuk Larangan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat di saat perayaan Lebaran.

2. Kumpul Waris

Kumpul Waris adalah kearifan lokal atau tradisi yang berkaitan dengan pernikahan yang ada dalam masyarakat Tabir Ilir yang berasal dari dua kata ‘kumpul’ dan ‘waris’. Kumpul adalah mengumpulkan atau menghimpun, sedangkan ‘waris’ adalah keluarga atau orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan. Kumpul Waris dilakukan menjelang pelaksanaan pernikahan seseorang yang ada di kawasan ini yang dilakukan dengan cara mengundang keluarga dan orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan calon mempelai. Namun demikian, dewasa ini tradisi Kumpul Waris tidak hanya dilakukan dengan cara mengumpulkan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan calon pengantin, tetapi juga seluruh orang-orang yang tinggal dan ada di desa tersebut. Perubahan ini terjadi karena penduduk desa tidak lagi hanya terdiri dari orang-orang yang memiliki hubungan saudara, tetapi seiring dengan perkembangan zaman maka banyak orang-orang luar yang menetap.

Setelah undangan kumpul, maka dilakukan pemberitahuan mengenai rencana pernikahan calon mempelai. Dalam acara ini juga dipaparkan mengenai calon mempelai, latar belakang keluarga, pendidikan dan lain sebagainya. Selanjutnya, para undangan, terutama yang memiliki hubungan kekerabatan terdekat, menyampaikan rencana waktu pelaksanaan pernikahan agar dapat disesuaikan dengan rencana pernikahan lainnya di desa tersebut. Terakhir, inilah yang menjadi inti tradisi Kumpul Waris, yaitu memberikan bantuan finansial semampunya untuk digunakan keluarga calon pengantin dalam rangkain pernikahan. Setiap orang dapat memberikan bantuan keuangan berapa saja, sesuai dengan kemampuan dan keikhlasannya. Di akhir acara, tuan rumah akan mengumumkan jumlah total sumbangan yang berhasil dikumpulkan dalam acara Kumpul Waris tersebut.

Tradisi ini cukup menarik untuk dipahami karena merupakan cara atau metode untuk membantu sebuah keluarga dalam melaksanakan pernikahan anggota keluarganya. Setiap orang yang sudah berkeluarga di desa, terutama yang sudah memiliki anak, harus datang ke acara Kumpul Waris sebagai bentuk solidaritas sesama warga. Di samping itu, tradisi ini juga dilakukan semacam arisan, yaitu saat ini kita membantu orang lain dan ketika tiba giliran kita maka orang lain pun akan datang membantu kita, yaitu ketika kita akan melangsungkan pernikahan anak-anak kita. Tradisi ini dilakukan tanpa mengenal status sosial seseorang, baik ia seorang yang miskin maupun seorang kaya sekalipun.

3. Gawal

Gawal adalah kearifan lokal yang ada dalam masyarakat Tabir Ilir yang berkaitan dengan hubungan remaja atau hubungan asmara. Tradisi adalah menikahkan dua orang remaja berlainan jenis yang terbukti bertemu di tempat yang asing, sepi, terpencil, gelap dan tanpa ditemani oleh orang lain selain mereka berdua. Gawal dilakukan untuk menjaga agar hubungan asmara (pacaran) yang dilakukan oleh remaja di desa tetap berada dalam koridor aturan setempat yang berasal dari ajaran agama Islam.

Ketika seseorang mendapati dua sepasang remaja sedang bertemu, apalagi melakukan sesuatu yang dilarang agama, di tempat yang sepi dan gelap maka ia akan menangkap keduanya dan mengambil barang-barang milik keduanya, kemudian dibawa ke rumah Imam Masjid desa sebagai bukti bahwa keduanya telah di ‘gawal’. Selanjutnya, Imam Masjid akan memberitahukan keluarga kedua remaja tersebut mengenai peristiwa tersebut dan mempersiapkan pelaksanaan pernikahan. Sebagian besar peristiwa ‘gawal’ selalu berujung pada pernikahan, meskipun tidak jarang juga ada yang membayar denda, terutama karena tidak direstui oleh keluarga sehingga tidak sampai pada pernikahan.

4. Batandang

Untuk mengatur hubungan asmara yang terjalin antara dua insan di Tabir Ilir, maka terdapat sebuah kearifan lokal yang bernama Batandang. Tradisi ini dalam terminologi lain dikenal dengan ‘apel’ atau ‘ngapel’, yaitu kunjungan yang dilakukan seorang remaja putra ke rumah remaja putri yang menjadi pacarnya. Batandang harus dilakukan di rumah pacar atau di rumah keluarga terdekatnya dengan diketahui oleh kedua orang tuanya.

Di masa lalu, tradisi Batandang dilakukan dengan cara datang ke tempat sang pacar dengan membawa beragam perlengkapan makan dan minum, seperti gula, kopi dan lain sebagainya. Namun demikian, saat ini membawa perlengkapan tersebut sudah tidak banyak dilakukan seiring dengan era modernisasi yang menerjang setiap sendi kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, satu hal yang menjadi ciri Batandang selalu tetap ada, yaitu berpantun. Di beberapa tempat di Tabir Ilir, seorang laki-laki yang akan mengunjungi pacarnya harus melantunkan pantun kepada tuan rumah dan berlanjut kemudian dengan saling berbalas pantun. Setelah berbalas pantun  selesai barulah sang pacar diperbolehkan keluarganya untuk bertemu dan mengobrol dengan tamu yang datang tersebut.

Bersambung………..


[1] Y.R. Zakaria, Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat, (Jakarta: Penerbit Walhi, 1994), hlm. 56.

[2] Zulkifli B. Lubis, ‘Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan’ dalam Jurnal Antropologi Indonesia, (Jakarta: Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia), Volume 29, No. 3, tahun 2005, hlm. 251.

[3] Robert Chamber dan P. Richards, ‘Preface’, dalam D.M. Warren dkk. (peny.) The Cultural Dimension of Development: Indigenous Knowledge Systems. (London: Intermediate Technology Publications, 1995), hlm. Xiii-xiv.

Memahami Sufisme Islam

Oleh: Pahrudin HM, MA

Pengantar

Dunia Timur yang telah lama menjadi perhatian banyak kalangan memang menarik untuk ditelaah dan dilakukan kajian terhadapnya. Di samping menjadi kawasan yang asing dan baru bagi banyak kalangan pengkaji yang kemudian dikenal dengan orientalis,[1] dunia Timur memang memunculkan banyak dinamika dalam masyarakatnya yang kemudian menciptakan semacam blok-blok atau kelompok-kelompok yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena kawasan ini merupakan tempat lahir dan tumbuhnya beragam agama dan aliran yang hingga saat ini ada dalam masyarakat di seluruh dunia. Agama Islam, Kristen, Hindu dan Buddha dengan segala dinamika yang terjadi di dalamnya tumbuh dan berkembang di wilayah ini.

Salah satu agama besar dunia dengan segala dinamikanya yang sangat menarik perhatian adalah Islam yang lahir dan berkembang pesat di kawasan ini. Sejarah perkembangan Islam mencatat bahwa setelah Nabi Muhammad SAW sebagai pemberi penjelasan atas beragam problem yang mengiringi masyarakat berdasarkan pengetahuan wahyunya wafat dan dilanjutkan dengan era para sahabatnya yang terkemuka (khulafā’ ar-rāsyidūn) maka mulai terjadi berbagai perselisihan di kalangan komunitas muslim. Pada awalnya, di masa tiga kepemimpinan sahabat (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affan) perselisihan yang melibatkan beragam komponen dalam masyarakat Islam belum atau tidak muncul ke permukaan, kecuali masalah politik di masa Usman. Namun demikian, perselisihan di kalangan komunitas muslim yang telah sekian lama dibina oleh Nabi Muhammad baru muncul ke permukaan di masa Ali. Pada masa kepemimpinan keempat dalam periode khulafā’ ar-rāsyidūn ini banyak timbul perselisihan yang melibatkan banyak kalangan dalam masyarakat Islam. Persoalan yang mengemuka di permukaan tidak hanya pada aspek politik yang memang telah mengemuka di masa Usman, tetapi telah menjalar pada aspek-aspek lainnya yang belum ada sebelumnya, seperti tauhid, aqidah dan lain sebagainya.

Sejarah pemikiran Islam kemudian mencatat bagaimana terus mengemuka dan terjadinya perselisihan dan pertentangan antara dua kelompok dalam masyarakat Islam. Satu kalangan yang menamakan diri mereka sebagai penegak syariah yang dimotori oleh kelompok ahlus sunnah wal jamaah dan kelompok sufisme di kalangan lain yang dianggap bertentang dengan kelompok pertama. Pertentangan yang melibatkan kedua kelompok terus berlangsung, baik pada tataran perdebatan dalam beragam forum diskusi maupun melalui beragam buku yang mereka tulis. Intensitas perselisihan yang makin meruncing di antara keduanya bahkan tidak jarang memakan korban jiwa, seperti yang dialami oleh al-Hallāj dan al-Suhrawardi. Tokoh sufisme al-Hallāj menemui ajalnya di tangan algojo penguasa saat itu atas desakan kelompok syariah karena paham hulūl-nya yang dianggap sesat dan membahayakan aqidah umat Islam, begitu juga dengan al-Suhrawardi yang pemikirannya dianggap sesat karena merupakan manifestasi ajaran Zoroaster dan kritikan kerasnya kepada ulama fiqih.[2] Tokoh sufisme lainnya yang juga turut mendapatkan dampak negatif dari mengemukanya perselisihan dan pertentangan antara kedua kelompok ini adalah Ibnu al-‘Arabi. Dengan mengusung pemikiran wahdah al-wujūd yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, Ibnu al-‘Arabi memang tidak sampai dihukum mati seperti tokoh-tokoh lainnya tetapi ia mendapat cercaan, hinaan dan makian dari pihak-pihak yang menganggapnya sesat.

Dalam tulisan ini, penulis memang sengaja menggunakan kata ‘sufisme’ seperti umumnya yang dipakai para orientalis untuk menyebutkan aspek mistisisme yang ada dalam Islam dan kata ini, menurut Nasution,[3] hanya khusus digunakan pada Islam.

Pengertian Sufisme

Untuk mengetahui sesuatu yang ingin diketahui, tidak lengkap rasanya jika tidak mengetahui terlebih dahulu pengertian yang dipahami oleh beberapa kalangan mengenai sesuatu tersebut. Dalam konteks ini pula penulis akan memaparkan terlebih dahulu pengertian yang biasa dipahami oleh orang-orang mengenai sufisme atau aspek mistisisme yang ada dalam Islam menurut pandangan mereka.

Pengertian pertama memahami sufisme sebagai suatu cara yang dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana mensucikan diri manusia, menjernihkan tingkah lakunya, dan membangun aspek lahir dan batinnya agar kemudian berujung pada pencapaian kebahagiaan yang abadi.[4] Sementara pengertian kedua memaknai sufisme sebagai salah satu dimensi dari beragam dimensi keagamaan dalam Islam yang dimaksudkan untuk menyelami relung terdalam dalam aspek religiusitas keislaman.[5] Sedangkan pengertian ketiga lebih melihat eksistensi sufisme pada tujuannya, yaitu untuk memperoleh hubungan langsung (direct relation) dan secara sadar dengan Tuhan sehingga dengan demikian intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi.[6] Pengertian keempat memaknai sufisme sebagai paham mistik dalam Islam sebagaimana Taoisme yang ada di Tiongkok dan Yoga di India dan yang terakhir, sufisme dipahami sebagai aliran kerohanian mistik yang ada dalam Islam.[7]

Sementara itu, seperti halnya pengertian sufisme yang mengalami perbedaan, pemahaman mengenai asal mula penamaan tasawuf yang merupakan nama lain dari sufisme juga terjadi perbedaan di kalangan para ahli. Menurut Nasution, penamaan tasawuf untuk menyebut aspek mistisisme dalam Islam berasal dari kata shūfi yang digunakan pertama kali oleh seorang asketik (zāhid) bernama Abū Hāsyim al-Khūfi di Irak.[8] Di lain pihak ada yang menyebutkan bahwa penamaan tasawuf tersebut berkaitan dengan pakaian yang digunakan oleh para pelakunya (zāhid) yang menunjukkan pada kesederhanaan, yaitu berupa wol kasar yang dalam bahasa Arab disebut dengan shūf.[9] Sedangkan di sisi lain ada yang mengatakan bahwa penamaan aspek mistisisme dalam Islam dengan sufisme karena merujuk pada suatu kelompok masyarakat miskin yang ada di Madinah di masa Nabi Muhammad. Orang-orang miskin ini tinggal di emperan Masjid Nabawi yang kemudian oleh para sahabat dikenal sebagai ahlu as-suffah. Selain itu, sebagian pihak menganggap bahwa penamaan tasawuf berasal dari kata shaf pertama dalam shalat berjamaah yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam ajaran Islam sebagaimana juga dengan tasawuf (sufisme) yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Namun demikian, jika pendapat-pendapat di atas melihat bahwa penamaan tasawuf bersumber dari dalam Islam sendiri, maka ada juga pihak lain yang menganggap bahwa penamaan tersebut berasal dari luar Islam. Kalangan ini beranggapan bahwa penamaan aspek mistisisme dalam Isla dengan sufisme atau tasawuf merupakan aktualisasi dari terjadinya persentuhan antara Islam dengan budaya Yunani. Sebagaimana diketahui bahwa setelah Islam tersebar luas hingga mencapai kawasan-kawasan luar Arab, terjadi persentuhan dan persinggungan dengan budaya-budaya atau tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat wilayah tersebut. Salah satu persentuhan tersebut adalah dengan budaya Yunani yang memang diyakini memiliki sisi filosofis yang agung dan tinggi. Dengan demikian, menurut keyakinan para pengusung pemikiran ini, sufisme atau tasawuf berasal dari kata sophos (hikmat) yang kemudian ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi s bukan shad.[10]

Sejarah Sufisme

Untuk melacak asal mula sufisme secara pasti terdapat hambatan dan kesulitan yang menghadang para ahli untuk melakukannya. Hambatan yang mengemuka terutama berkaitan dengan ketiadaan tulisan atau informasi masa lalu yang secara pasti dan jelas mengungkapkannya. Namun demikian, beberapa pihak mencoba memaparkan sejumlah teori yang diharapkan dapat menjawab sejumlah pertanyaan mengenai asal mula adanya sufisme dalam Islam yang terus menggelayut dalam benak banyak ahli. Jika dirunut secara berurutan, setidaknya terdapat lima pendapat yang diketengahkan berkaitan dengan sejarah sufisme dalam Islam.

Pertama,[11] sejarah sufisme dalam Islam berawal dari keterpengaruhan Islam terhadap Kristen yang telah ditaklukkan di wilayah-wilayah sebelumnya menjadi basis agama yang juga disebut Nasrani tersebut, seperti Syiria, Mesir dan Palestina. Menurut pengusung pendapat ini, Margareth Smith, agama Kristen memiliki ajaran yang menganjurkan para pemeluknya untuk menjauhi kehidupan dunia dengan cara mengasingkan diri dalam biara-biara. Ajaran inilah yang kemudian diadopsi oleh oleh apa yang kemudian dikenal dengan sufisme yang kala itu masih miskin dengan ajaran-ajaran dan dijadikan salah satu media yang digunakan seorang penganut sufisme dalam menjalankan aktivitasnya.

Kedua, asal mula sufisme karena pengaruh dari filsafat mistik Pytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia adalah kekal dan berada di dunia sebagai roh orang asing. Roh terpenjara dalam badan jasmani dan untuk memperoleh kesenangan hidup, maka manusia harus mensucikan roh dengan meninggalkan hidup materi melalui sarana zuhd dan dilanjutkan dengan kontemplasi. Ketiga, adanya sufisme karena filsafat emanasi Plotimus yang mengatakan bahwa wujud yang ada ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa dan roh berasal dari dan akan kembali kepada-Nya. Di saat materi memasuki roh, maka ia menjadi kotor dan sebelum kembali kepada pemiliknya maka harus dibersihkan dengan cara meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan serta bersatu dengan-Nya. Keempat, kemunculan sufisme karena ajaran Buddha dengan ajaran nirwananya atau surga dalam literatur agama samawi. Menurut salah satu ajaran inti Buddha ini, jika seseorang ingin mencapai nirwana maka ia harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, kemunculan sufisme dalam Islam karena dipengaruhi oleh Hindu berupa ajaran Upanishad dan Vedanta yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan dengan Atman dengan Brahman.[12]

Inilah kelima teori yang dikemukakan oleh sejumlah ahli untuk menjawab kegelisahan mengenai asal mula timbulnya sufisme. Namun demikian jika diperhatikan, kelima teori yang dipaparkan di atas mengatakan bahwa kemunculan sufisme dalam Islam karena pengaruh dari luar Islam, seperti Kristen; filsafat mistik Pytagoras; filsafat emanasi Plotimus; ajaran Nirwana Buddha; dan ajaran Upanishad dan Vedanta Hindu. Apakah memang demikian?. Apakah dalam Islam tidak memiliki ajaran yang mengajak pemeluknya untuk melakukan hal-hal seperti yang ada dalam ajaran sufisme?. Pertanyaan ini penting dilakukan kajian karena sebagai agama yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dari persoalan-persoalan yang kecil hingga masalah-masalah yang besar serta dunia dan akhirat, sangat tidak mungkin tidak memiliki secuil saja ajaran atau anjuran sebagaimana yang ada dalam ajaran yang diusung oleh sufisme.

Jika dicermati secara mendetail dan seksama, sebenarnya ajaran-ajaran Islam memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan eksistensi sufisme. Melalui beberapa ayat dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW sebagai dua tuntunan utama setiap muslim dalam menjalani kehidupannya akan tampak bahwa Islam memiliki ajaran tidak jauh berbeda dengan apa yang menjadi ajaran dari sufisme. Dari al-Qur’an akan dicontohkan tiga ayat yang dapat dipahami dan dimaknai sebagai ajaran inti dari sufisme, yaitu:

1. Q.s. al-Baqarah, 186 :

وإذا سألك عبادى عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوالي وليؤمنوابي لعلهم يرشدون

Dari ayat ini menyiratkan suatu pemahaman bahwa manusia sebagai salah satu makhluknya adalah sangat dekat dengan Tuhan sebagai penciptanya.

2. Q.s. al-Baqarah, 115 :

ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجـه الله إن الله واسع عليـم

Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa Tuhan sebagai penguasa alam semesta ini berada dan dapat dijumpai di mana saja.

3. Q.s. Qāf, 16 :

ولقد خلقنا الإنسان ونعلم ما توسوس به نفسـه ونحن أقرب إليه من حبل الوريـد

Ayat ini mengungkapkan bahwa Tuhan itu sebenarnya ada dalam diri manusia dan bukan berada di luarnya.

4. Q.s. al-Anfāl, 17 :

فلم تقتـلوهم ولكن الله قتلهـم ومـا رميت إذ رميت ولكن الله رمى …

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa manusia dan Tuhan dapat mengalami penyatuan dalam satu tubuh.

Sedangkan ajaran Islam yang bersumber dari hadits Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan sufisme, yaitu : “Orang yang mengetahui dirinya, maka ialah orang yang mengetahui Tuhannya” dan sebuah hadits Qudsi :

كنت كنذا مخفيـا فأحببت أن أعرف فخـلقت الخـلق فبي عرفـواني

“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk dan melalui Aku mereka mengenal Aku”.


[1] Ulasan lebih lanjut dan lengkap mengenai hal ini dapat ditemukan dalam : Edward W. Said, Orientalisme, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2001).

[2] Kautsar Azhari Noer, Mengkaji Ulang Posisi al-Ghazali Dalam Sejarah Tasawuf, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, (Jakarta: Volume I, No. 2, Tahun 1999), hlm. 173-174.

[3] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), hlm. 56.

[4] “Sufisme” dalam www.wikipediaindonesia.com. Akses akhir 2009.

[5] Muhammad Ibrahim al-Fayumi, Ibnul ‘Arabi Dalam Sorotan, Menyingkap Kode dan Menguak Simbol, dalam http://www.amuli.wordpress.com.

[6] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, … hlm. 56.

[7] Sufisme sebagaimana menurut GBJ Hiltermann dan Van De Woestijne serta Van Haeringen dalam http://www.wikipediaindonesia.com.

[8] Ibid,- hlm. 56-57.

[9] “Sufisme” dalam www.wikipediaindonesia.com dan dalam Harun Nasution,…, hlm. 57

[10] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, …, hlm. 57.

[11] Ibid, hlm. 58.

[12] Samsuddin Arif, Manipulasi Dalam Kajian Tentang Sufisme, Telaah Utama Islamia, Vol. III, No. 1, 2006, hlm. 24.