Tag Archives: Dukun Cilik

FENOMENA PEDUKUNAN DAN CERMIN KONDISI KITA

Oleh: Pahrudin HM, M.A.
Hampir tak ada orang yang tak mengenal cermin. Dari anak-anak hingga orang dewasa tahu benda bening yang biasanya diletakkan salah satu sudut kamar ini. Benda ini adalah peralatan yang cukup akrab dengan kehidupan kita. Jika kita ingin melihat bagaimana bentuk dan rupa kita, maka gunakanlah cermin. Ya, alat yang dapat memantulkan apa yang ada di depannya ini memang menampilkan sesuatu apa adanya, tanpa rekayasa, penambahan dan pengurangan. Kalau benda yang ada di depannya bagus, maka yang ditampilkannya pun bagus begitu juga sebaliknya. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa hampir setiap orang mempunyai cermin yang diletakkan baik di kamar maupun dalam ruangan di tempat dimana ia tinggal. Hampir setiap saat, manusia menggunakan alat yang satu ini untuk melihat bentuk dirinya, terutama di bagian wajah yang sangat berpengaruh dengan penampilan sehari-hari karena bagian ini tidak dapat langsung dilihat oleh mata sebagai indera penglihat.

Namun demikian, jika ingin melihat kelebihan dan kekuarangan yang terdapat di tubuh kita tersedia alat bernama cermin, maka bagaimana melihat apa sesungguhnya terjadi dengan masyarakat. Untuk melihat bagaimana kondisi masyarakat memang tidak dapat menggunakan alat yang disebut cermin layaknya pada diri kita, tetapi media yang dapat digunakan adalah realitas-realitas yang mengemuka dan muncul dalam masyarakat tersebut. Sebagai bangsa, kita telah mengarungi kehidupan yang cukup panjang sehingga dapat dikatakan bahwa usia perjalanan kita telah sangat dewasa untuk ukuran umur manusia. Namun demikian, dalam rentang waktu yang panjang tersebut ternyata banyak kekurangan dan kealpaan yang menyertai langkah-langkah kita.

Fenomena mengemukanya ‘dukun cilik’ Ponari yang berasal dari sebuah dusun kecil di Jombang yang beberapa waktu yang lalu yang sempat sangat mewarnai horizon pikiran kita barangkali merupakan cermin yang mengungkapkan bagaimana kondisi masyarakat kita yang telah cukup lama menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan. Di tengah hiruk pikuk saat-saat menjelang pemilu yang dinanti banyak kalangan di tanah air, kita disuguhkan dengan munculnya seorang anak kecil yang dikatakan mampu mengobati segala jenis penyakit yang diderita orang. Bocah kecil bernama Ponari ini sebagaimana diberitakan oleh banyak pihak memiliki sebuah batu yang didapatkannya suatu saat sehabis terjadinya hujan deras yang disertai halilintar. Hanya dengan mencelupkan ‘batu sakti’ tersebut ke dalam air untuk diminum si penderita, maka orang yang sedang menderita sakit tersebut pun akan sembuh seperti sedia kala. Awalnya, kesaktian batu ini hanya dirasakan oleh kerabat dekatnya yang sakit, namun kemudian dengan sangat cepat berlanjut dengan tetangga dan warga desanya hingga berita ini menyebar ke seluruh negeri ini karena diblow up besar-besaran oleh berbagai media massa, baik lokal maupun nasional. Segera saja ribuan orang yang sebagian besar didominasi oleh kalangan menengah ke bawah menyemut dan mengerubungi kediaman anak kecil yang kini disematkan gelar dukun cilik kepadanya. Ribuan orang ini rela mengantri berjam-jam hingga berhari-hari untuk mendapatkan giliran dicelupkan ‘batu keramat’ Ponari ke dalam wadah air minumnya. Sontak saja peristiwa ini cukup menggegerkan banyak orang di negeri ini, terutama yang berkaitan langsung dengan tempat tinggal Ponari, apalagi telah ada korban jiwa yang melayang akibat berdesakan di tengah ribuan orang yang kian hari kian tidak terbendung. Kemunculan Ponari dengan predikat dukun ciliknya jika dilihat dari sudut pandang orang awam adalah peristiwa biasa dalam keseharian masyarakat kita yang memang telah banyak mengalami transpormasi spiritual dan budaya. Namun demikian, peristiwa ini sesungguhnya mengungkapkan banyak aspek dalam kehidupan masyarakat yang selama ini terlupakan atau malah sengaja dilupakan demi motif tertentu. Ponari dengan ‘batu penyembuh ajaibnya’ dan antrian panjang orangorang menunggu giliran disembuhkan jika ditelaah secara mendalam akan mengungkapkan dua yang menjadi sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita selama ini.

Pertama, fenomena ini mengungkapkan kegagalan pemerintah sebagai
pemegang kebijakan dan wewenang dalam melakukan pelayanan yang sangat optimal terhadap masyarakat yang menyerahkan mandatnya kepada para birokrat tersebut. Kegagalan dimaksud terutama menyangkut penyediaan jaminan kesehatan yang baik serta pendidikan yang bermutu dan mampu dijangkau oleh segenap lapisan masyarakat yang ada di negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kedua aspek yang menjadi syarat utama kemajuan suatu bangsa ini hanya mampu dinikmati oleh segelintir orang yang berkantong tebal. Sementara sebagian besar lainnya digerogoti ketidakmampuan dan ketidakberdayaan akibat mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan yang dapat mendukung pembenahan masa depan mereka menjadi lebih baik dan sejahtera. Tengoklah kondisi yang dialami oleh saudara-saudara kita yang ada di berbagai tempat di Nusa Tenggara Timur yang sepanjang usia kemerdekaan negeri ini terus mengalami kekurangan, terutama gizi buruk, kemiskinan dan rendahnya pendidikan. Begitu juga dengan saudara-saudara kita di wilayah paling timur negeri ini, Papua, yang memiliki kekayaan alam melimpah tetapi sebagian besar rakyatnya hidup dalam serba keterbatasan dan kekurangan. Atau, kondisi serupa juga terjadi di pelupuk mata para petinggi negara di seputaran Jakarta serta saudara-saudara kita yang rela antri berjam-jam bahkan berhari di sekitar rumah
Ponari demi mendapatkan kesembuhan dari mukjizat batu bertuahnya. Lihatlah berapa besar biaya yang mesti dikeluarkan oleh masyarakat untuk berobat di rumah sakit, bahkan rumah sakit pemerintah sekali pun. Kalaupun mereka mendapatkannya secara gratis karena beberapa kebijakan pemerintah maka itu pun hanya terbatas pada kelas paling bawah dalam fasilitas yang tersedia di rumah sakit tersebut yang tentunya dengan segala keterbatasan dan cenderung apa adanya.

Orang miskin dilarang sakit dan orang miskin dilarang sekolah yang beberapa waktu lalu pernah mencuat dalam bentuk dua buah buku yang ditulis seorang
pengarang Jogja barangkali ingin menggambarkan kondisi seperti ini. Dengan
mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan masyarakat untuk menikmati dua hal yang krusial ini, sementara di sisi lain selama ini mereka terus berada dalam kungkungan kemiskinan, seakan-akan ada spanduk besar terpampang di depan rumah sakit dan sekolah yang melarang mereka untuk mendekat.
Apa yang terjadi di sebuah desa di Jombang ini merupakan kritikan keras
terhadap pemegang kekuasaan di negeri ini yang diharapkan mampu menggugah hati dan nurani mereka. Bagi masyarakat, khususnya kalangan yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, pelayanan seperti yang dijalankan Ponari adalah gambaran ideal bagi mereka. Yaitu, pelayanan yang cepat menyentuh kebutuhan mereka, terjangkau dengan isi dompet mereka dan dapat langsung mereka rasakan manfaatnya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bukan seperti pelayanan-pelayanan publik yang selama ini mereka terima, berbelit-belit dan seringkali seperti dipimpong ke sana kemari yang seringkali juga berujung pada keharusan mengeluarkan biaya
dengan beragam dalih yang dikemukakan oknum-oknum tertentu.
Kedua, fenomena ini di sisi lain juga menggambarkan kondisi psikologis
masyarakat kita yang tengah sakit yang bisa jadi merupakan efek dari kegagalan pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Sebagai perbandingan, apakah pernah kita mendengar berita yang mengungkapkan hal serupa di negara-negara yang dikenal sejahtera (welfare states), atau tidak perlu jauh-jauh, pernahkah kita mendengar ada banyak orang yang rela antri untuk berobat dari sesuatu yang sulit dianalisis secara ilmiah di negeri-negeri jiran kita semisal Malaysia, Singapura dan Thailand. Jangankan untuk antri menikmati penyembuhan gratis macam yang ada di sekitar kediaman Ponari, rombongan orang dalam jumlah besar untuk mendapatkan pelayanan di tempat-tempat publik pun hampir pernah
ditemukan di negeri-negeri jiran tersebut.

Masyarakat sepertinya sudah tidak sabar dengan segala penderitaan beragam penyakit yang mereka diderita selama ini dan tidak kunjung sembuh. Dengan kondisi psikologis seperti ini maka dengan serta merta mereka mau melakukan apa saja agar kesembuhan didapatkan bahkan untuk mengantri berjam-jam di tempat yang sulit dicerna akal sehat sekali pun. Lihatlah bagaimana dengan mudah mereka mempercayai berita-berita yang beredar tentang khasiat batu mujarab Ponari yang sebenarnya tidak sepenuhnya dapat menyembuh seluruh penyakit pasien yang datang kepadanya. Ini terbukti dengan pengakuan beberapa orang yang pernah minum air yang telah dicelupkan batu ajaib Ponari, tetapi penyakitnya tidak kunjung sembuh bahkan harus dirawat di rumah sakit. Dan yang lebih mengenaskan dan memprihatinkan adalah perilaku mereka yang seakan-akan telah keluar dari akal sehat, seperti memanfaatkan lumpur, air comberan dan limbah kamar mandi yang ada di rumah sang dukun cilik. Barang-barang ini jelas-jelas kotor dan menjijikkan, tetapi mereka tetap memanfaatkannya demi kesembuhan penyakit yang diderita karena kesulitan mengantri menemui Ponari secara langsung.

Kondisi seperti ini tidak hanya ada di satu daerah tertentu saja, tetapi tentu
juga dapat ditemukan di berbagai tempat di seluruh tanah air. Antrian panjang yang terjadi di sebuah desa di Jombang hanyalah gambaran kecil dari rentetan kegagalan pemerintah yang berdampak pada kondisi mengenaskan yang diderita masyarakat. Selama pemerintah, baik pusat maupun daerah, belum menjalankan fungsi pelayanan secara optimal dan sibuk dengan kepentingannya sendiri, maka Ponari-Ponari dengan ribuan orang di sekelilingnya akan terus bermunculan di negeri ini. Jadi, kita
membutuhkan berapa Ponari lagi untuk menyadarkan segenap pemegang kekuasaan di negeri ini bahwa sudah saatnya segala kebijakan yang diterapkan diperuntukkan sepenuhnya kepada masyarakat. Dan berapa korban meninggal dengan mengenaskan karena berdesakan lagi untuk menyadarkan kita semua bahwa kondisi mengenaskan yang menimpa negeri ini sudah sangat parah dan membutuhkan uluran tangan kita. Marilah kita bahu membahu mengatasi problem ini. Sudah saatnya segala pertikaian
dan perselisihan, terutama yang sekarang banyak dipertontonkan oleh para elit politik, dihentikan dan kembali berembuk mengatasi masalah-masalah yang menyelimuti bangsa ini.

Kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan dan penyakit
kronis yang sekarang menjangkiti masyarakat hanya dapat dibayar dan dihilangkan dengan penyelenggaraan public service yang baik. Di samping itu, usaha-usaha yang langsung bersentuhan dan dirasakan oleh masyarakat juga sangat diperlukan sehingga tidak perlu kita menunggu hadirnya Ponari-Ponari lain dengan segala hal yang mengitari keberadaannya. Kini, dalam masa 100 hari pemerintahan SBY jilid kedua, masihkah ada Ponari-Ponari yang muncul untuk mengingatkan segenap pengambil kebijakan negeri ini bahwa apa yang dirasakan masyarakat harus segera diselesaikan.

Kita tunggu saja…