Tag Archives: Kondisi Sosial

URGENSI REVITALISASI KEARIFAN LOKAL DI TENGAH ANCAMAN BENCANA ALAM DI INDONESIA

Oleh: Pahrudin HM, M.A.

Abstrak

In experiencing life, human being cannot be escaped from nature, especially the natural resources. In order to that, our ancestors have given us immeasurable local knowledges, like the forest restrictions; the depth restrictions; and many more, related to the relation of human being experiencedly with nature. Those indigenous knowledges intended by our ancestors to keeping continuity, preservation and concervation of natural resources that very necessary for human being and life.

This article discusses about the importance of the Indonesian communities’ local knowledges to keeping concervation and preservation of natural resources, like forest; water; river; and farm. Revitalize of local knowledges are significantly in threat of natural disasters at many Indonesian territories, from Aceh in west to Papua in east. In modern living of human, local knowledges still can be use with refer to it benefits and effects for human life and concervation of natural resources.

Key word: revitalize, natural disaster, local knowledge, naturalresources,

 

Pendahuluan

Kepulauan Nusantara sejak dahulu telah dikenal sebagai wilayah yang memiliki beragam sumberdaya alam (natural resources), baik berupa bahan tambang seperti emas; perak; batubara; dan tembaga; maupun berupa hutan yang lebat dan perkebunan yang luas, terutama karet, kelapa sawit dan kakao. Di samping kedua jenis sumberdaya tersebut, Indonesia juga dikenal sebagai kawasan yang memiliki laut yang luas dan sungai-sungai yang beraneka ragamnya. Pendek kata, Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya alam yang melimpah sehingga mengemuka suatu ungkapan “tongkat kayu dan batu jadi tanaman” yang mengisyaratkan akan kesuburan negeri ini.

Namun demikian, belakangan ini Indonesia seakan sangat akrab dengan bencana alam yang ditimbulkan oleh beragam kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Berdasarkan hasil interview Kompas (23 Februari 2010) dengan Koordinator Pusat Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Ridwan Yunus, jenis bencana yang melanda wilayah Indonesia didominasi banjir yang mencapai 35% dari total 6.632 kali bencana, disusul kekeringan (18%), tanah longsor, angin topan dan kebakaran, masing-masing 11%, sedangkan bencana banjir yang disusul tanah longsor tercatat sebanyak 3%. Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam sebuah laporannya merilis jumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2011 mencapai angka 1.598 (www.okezonenews.com. 30 Desember 2011). Masih berdasarkan data BNPB, bencana alam hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan angin puting beliung merupakan jenis bencana alam yang paling banyak (89%) melanda Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir (2002-2011).

Bencana alam hidrometeorologi seperti tanah longsor terjadi di mana-mana, mulai dari Aceh di ujung barat hingga Papua di bagian timur Indonensia. Begitu juga dengan banjir bandang yang seakan menjadi ‘santapan’ sehari-hari masyarakat Indonesia, bahkan di tempat-tempat yang dulu dikenal memiliki sumberdaya hutan yang luas sehingga tidak memungkinkan terjadinya banjir yang menelan korban jiwa seperti yang terjadi di Wasior Papua dan Aceh tahun 2011 yang lalu. Sumberdaya air juga tidak luput dari bencana karena banyak laut, sungai dan mata air yang sudah tercemar, baik oleh limbah pertambangan maupun oleh beragam aktivitas manusia lainnya (Pahrudin HM, 2010: 143-159). Satu hal yang juga layak dicermati adalah mengemukanya ‘serangan’ ulat bulu di tahun 2011 lalu yang memakan daun-daun pohon di Jawa Timur, kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat dan Jakarta serta sampai ke Sumatera Utara. Di samping menggunduli pohon-pohon yang ada di wilayah-wilayah tersebut, serangan ulat bulu ini juga mengancam manusia karena sudah memasuki rumah dan menimbulkan gatal-gatal di kulit. Belakangan ini kita juga dikejutkan dengan adanya binatang sejenis serangga (tomcat) yang ‘menyerang’ manusia, khususnya anak-anak, di Surabaya dan kemudian menyebar setidaknya di delapan wilayah di Jawa Timur. Meskipun tidak sampai merenggut korban jiwa, namun ‘serangan’ tomcat membuat tubuh manusia dihinggapinya gatal-gatal dan melepuh seperti terbakar akibat cairan yang dikeluarkannya.

Inilah sekilas realitas yang terjadi dengan masyarakat Indonesia yang mendiami negeri yang dikenal sebagai kawasan yang kaya akan beragam sumberdaya alam dan seharusnya menikmati dampak-dampak positifnya. Di tengah kekhawatiran akan bencana yang bertubi-tubi tersebut, sebenarnya ada banyak cara yang dapat dilakukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membangun kesadaran untuk menggiatkan kembali (revitalisasi) implementasi beragam kearifan lokal yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Tulisan berikut akan mencoba menghadirkan paparan mengenai kearifan lokal Nusantara dan urgensi merevitalisasinya dalam kehidupan masyarakat kita. Hal ini perlu dilakukan karena para nenek moyang kita sebenarnya telah mewariskan beragam pengetahuan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam sehingga bencana-bencana tersebut di atas dapat dihindari atau paling tidak diminimalisasi kuantitas dan kualitasnya.

Memahami Kearifan Lokal

Para pakar sosiologi, dan juga antropologi, menyakini bahwa dalam menjalani kehidupannya sehari-hari, manusia tidak akan pernah terlepas dari alam sekitarnya (Rachmad, 2008; Poerwanto, 2008). Meskipun demikian, tidak semua manusia menyadari urgensitas hubungannya dengan alam yang harus selalu dijaga dan dipelihara dalam sebuah keseimbangan yang memungkinkannya terus berlangsung (sustainable). Kelompok manusia yang tidak menyadari pentingnya eksistensi alam dalam kehidupan manusia akan melakukan segala cara sesuai dengan  keinginannya sehingga tidak jarang berimplikasi pada terjadinya beragam ketidakseimbangan bahkan juga bencana. Sementara sebaliknya, manusia yang sadar akan arti penting alam bagi kehidupannya akan memanfaatkannya sesuai kebutuhan dan menciptakan beragam aturan atau metode agar keseimbangannya tetap selalu terjaga atau lestari. Inilah yang kemudian dikenal dalam khazanah ilmu pengetahuan modern dengan ‘kearifan lokal’.

Secara sederhana, kearifan lokal (indigenous knowledge atau local knowledge) dapat dipahami sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu yang mencakup di dalamnya sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkaitan dengan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari (Zakaria, 1994: 56). Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam sejarah manusia terdapat orang-orang yang sadar dan peduli akan kelestarian alam dan dari kelompok orang seperti inilah kearifan lokal tersebut berasal. Orang-orang yang memiliki kepedulian alam ini kemudian menciptakan aturan-aturan sederhana yang pada awalnya didapatkan melalui proses trial & error dengan cara meneruskan aktivitas yang diyakini dapat melestarikan alam dan meninggalkan praktek-praktek yang berujung pada kerusakan (Mitchell, 2003: 299). Aturan atau ketentuan dalam format ‘kearifan lokal’ tersebut diciptakan oleh masyarakat dalam terminologi pantangan yang bercorak religius-magis dan aturan adat (Lubis, 2005: 251). Masyarakat dilarang untuk mendekat dan memasuki apalagi memanfaatkan tempat-tempat atau zona-zona yang ditetapkan sebagai ‘larangan’. Agar ketentuan ini menjadi efektif, maka diciptakanlah beragam mitos atau cerita takhayul (superstition) sehingga orang-orang yang bermaksud untuk melakukan aktivitas destruktif menjadi takut. Cerita-cerita tersebut dibuat dalam beragam format, seperti adanya hantu yang menjadi penunggu zona tersebut, atau dapat pula berupa binatang buas yang akan memangsa siapapun yang melakukan aktivitas merusak di kawasan tersebut serta ada juga berupa penyakit aneh yang akan menyerang orang-orang yang bertindak tidak baik di dalamnya.

Merevitalisasi Kearifan Lokal dalam Kehidupan Masyarakat

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa ketentuan kearifan lokal (local knowledge) memang diciptakan dalam format religius-magis yang jika dipandang dengan ‘kacamata’ kemodernan saat ini akan kelihatan aneh dan tidak logis. Namun demikian, jika memperhatikan maksud dan tujuan dibalik mengemukanya beragam kearifan lokal yang ada dalam masyarakat kita maka tentu segala ‘keanehan’ dan ketidaklogisan tersebut akan berubah menjadi kekaguman. Mengemukanya beragam kearifan lokal dalam beragam format yang ada dalam masyarakat Indonesia sesungguhnya bukan hendak menakut-nakuti orang atau agar seseorang ‘menyembah’ sesuatu yang berada diluar kepercayaan agama yang dianutnya, seperti menyekutukan Allah dalam terminologi Islam. Akan tetapi bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian sumberdaya alam yang ada dalam suatu masyarakat. Kearifan lokal yang ada dan dapat dijumpai di Indonesia mengemuka dalam beragam format sesuai dengan sumberdaya alam yang ada dan dimiliki oleh masyarakatnya. Masyarakat yang memiliki sumberdaya hutan memiliki apa yang dikenal dengan ‘hutan larangan’, dan masyarakat yang memiliki sumberdaya air atau sungai mempunyai kearifan lokal yang biasa dikenal dengan ‘lubuk larangan’. Sedangkan masyarakat yang bermatapencaharian utama sebagai nelayan di laut memiliki ‘pantangan’ untuk tidak terlalu banyak mengambil ikan di tengah laut dan menjaga terumbu karang, adapun masyarakat petani mengenal sistem ‘tumpangsari’ serta membiarkan laba-laba, kumbang dan burung berada di lingkungan pertanian mereka. Adapun masyarakat petani sawah mengenal kearifan lokal berupa pemeliharaan suatu ikan jenis tertentu dan membiarkan ular air berkembang biak di areal persawahan.          

Di tengah ‘serbuan’ bencana alam yang seakan datang silih berganti menerjang negeri ini, ada baiknya kita kembali menengok beragam warisan yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita. Kearifan lokal yang diwariskan para pendahulu kita tersebut memang bercorak religius-magis yang tidak jarang menakutkan, namun dalam konteks sekarang tidak lagi dipandang demikian karena sebenarnya mengajarkan manusia pada kerendahan hati dan kebutuhan untuk belajar dari suatu komunitas sebelum kita mengajari mereka (Chamber & Richard, 1995: xiii-xiv) . Nenek moyang kita telah mewariskan beragam format kearifan lokal yang bertujuan untuk menjaga kelestarian dan menyelamatkan lingkungan dan sumberdaya alam sehingga dapat selalu dinikmati oleh generasi-generasi berikutnya.

Beragam analisis mengungkapkan bahwa terjadinya tanah longsor yang dan banjir bandang yang mencapai 11% dari total 6.632 bencana alam di tahun 2010 dan mayoritas (89%) dari total 1.598 bencana alam di tahun 2011 di berbagai daerah di Tanah Air disebabkan oleh kian menyusutnya kualitas dan kuantitas hutan. Pohon-pohon yang berfungsi sebagai penyangga dan penyerap air tidak lagi banyak dan efektif seperti dulu akibat penebangan liar untuk beragam keperluan manusia. Akibatnya tentu dapat ditebak, terjadilah tanah longsong dan banjir bandang. Di sinilah letak urgensi kearifan lokal dalam konteks sumberdaya hutan, yaitu adanya ‘hutan larangan’. Ketentuan ini mengatur suatu kawasan hutan yang tidak boleh dimanfaatkan oleh masyarakat, apalagi ditebangi untuk keperluan apapun. Penentuan ‘hutan larangan’ biasanya ditetapkan berdasarkan pada efektivitasnya dalam menjaga kelestarian lingkungan, seperti di perbukitan; di sepanjang aliran sungai dan dekat dengan sumber mata air warga (Lubis, 2005: 251). Fungsinya sangat jelas agar bukit-bukit yang biasanya mengalami pengikisan oleh air hujan yang berakibat longsoran menjadi terhindari, begitu juga dengan banjir bandang yang dapat terhindari karena banyaknya pohon sehingga air hujan tidak sepenuhnya ditampung oleh sungai dan sebagai resapan air bagi sumber mata air yang biasa dimanfaatkan masyarakat.

Begitu juga dengan kian banyaknya kasus pencemaran sungai dan air akibat beragam keperluan manusia, seperti pertambangan dan lain sebagainya. Kearifan lokal yang dapat ditemukan dalam konteks ini mengemuka dalam format ‘lubuk larangan’, yaitu berupa penetapan zona-zona tertentu di sungai yang tidak boleh didekati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Di beberapa daerah di Sumatera, ‘lubuk larangan’ diberlakukan terhadap bagian sungai yang terdalam (lubuk) dan memiliki kontur air yang berputar-putar serta berada di suatu tikungan sungai (Pahrudin HM, 2010: 143-159).  Jika mencermati kearifan lokal dalam bingkai ‘lubuk larangan’, maka akan didapatkan beberapa aspek yang sangat berguna bagi kelestarian lingkungan atau ekosisten sungai dan air. Revitalisasi ‘lubuk larangan’ dalam kehidupan masyarakat akan mencakup paling tidak tiga aspek penting dalam kehidupan masyarakat, yaitu ekologis; ekonomis; dan sosio-kultural sekaligus. Menumbuh kembangkan kearifan lokal berupa ‘lubuk larangan’ di tengah masyarakat akan membuat lingkungan atau ekologi menjadi terjaga dan kalau pun sempat menghadapi ancaman degradasi tentu akan dapat dicegah sedini mungkin. Karena penerapan ‘lubuk larangan’ yang efektif, aktivitas pemanfaatan sungai dan air yang dilakukan masyarakat akan terkontrol dan kegiatan-kegiatan destruktif seperti penambangan yang akan berujung pada degradasi lingkungan dapat dihindari. Sedangkan secara ekonomis, efektivitas penerapan ‘lubuk larangan’ akan berimplikasi positif bagi kehidupan masyarakat karena beragam resources yang terdapat dalam zona ‘pantangan’ tersebut, seperti ikan yang memang banyak terdapat di tempat-tempat yang sesuai dengan ketentuan ‘lubuk larangan’, dapat dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Hal ini karena ‘pantangan’ yang ada pada ‘lubuk larangan’ tidak sepenuhnya diberlakukan sepanjang waktu dan sepanjang tahun. Ada waktu-waktu tertentu, biasanya saat lebaran, yang memperbolehkan warga masyarakat untuk bersama-sama memanfaatkan beragam resources yang ada dalam ‘lubuk larangan’ tersebut. Seluruh anggota masyarakat bersama-sama mengambil ikan-ikan yang ada dalam ‘lubuk larangan’ tersebut untuk dikonsumsi oleh keluarga, sedangkan sebagaian besar ikan lainnya dijual oleh desa dan hasil penjualannya digunakan untuk beragam keperluan publik, seperti membantu pembangunan tempat ibadah, sarana kesehatan dan lain sebagainya. Adapun dari aspek sosio-kultural adalah kebersamaan dan kesamarataan beragam lapisan sosial dalam memanfaatkan hasil ‘lubuk larangan’ tanpa memandang status sosial mereka. Di samping itu, ajang ‘pembukaan’ kearifan lokal ini juga dimanfaatkan sebagai pariwisata budaya karena biasanya juga mengetengahkan beragam atraksi budaya masyarakat setempat, khususnya yang berkaitan dengan budaya sungai. Demikianlah sebuah kearifan lokal yang seringkali dianggap sebagai ketinggalan zaman ternyata dapat mengait pada paling tidak tiga aspek penting dalam kehidupan masyarakat.

Masyarakat nelayan juga mengenal kearifan lokal, di antaranya berupa ‘pantangan’ untuk tidak terlalu banyak menangkap ikan di tengah-tengah laut (Mitchell, 2003: 320). Aturan ini sudah lama mengakar dalam masyarakat nelayan, bahkan juga di banyak komunitas nelayan di seluruh dunia, karena dengan mengambil ikan dalam jumlah yang terlalu banyak di tengah-tengah laut, maka kuantitas dan kualitas ikan yang akan berkumpul di tepi laut menjadi sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Dengan minimnya keberadaan ikan di tepi laut, atau laut dangkal, maka nelayan-nelayan yang kebetulan tidak memiliki peralatan tangkap yang lengkap tentu tidak akan kebagian anugerah yang diberikan Tuhan dari laut. Di samping itu, melalui kajian ilmu pengetahuan perikanan dan kelautan modern dapat diketahui bahwa beberapa jenis ikan justru bertelur dan berkembangbiak di tepi laut, atau laut dangkal. Dengan menangkap ikan dalam kuantitas yang besar di tengah-tengah laut di samping akan mematikan kesempatan kelompok nelayan kecil untuk mencari rezeki, juga akan mengganggu keberlanjutan spesies-spesies ikan tersebut di kemudian hari. Kearifan lokal lainnya yang dapat ditemukan dalam komunitas nelayan adalah pelestarian yang mereka lakukan terhadap terumbu karang di laut dan hutan bakau (mangrove) di tepi pantai. Kedua benda ini sangat berarti bagi kelangsungan hidup para nelayan karena terumbu karang dan pohon bakaulah yang menjadi tempat perkembangbiakan beragam spesies ikan. Dengan melakukan perlindungan dan pelestarian terhadap terumbu karang dan bakau, maka kelangsungan hidup beragam spesies ikan akan terus terjaga yang berarti kelangsungan hidup nelayan dan anggota keluarganya juga dapat terus berlanjut.

Kelompok masyarakat lainnya yang di dalamnya dapat ditemukan kearifan lokal yang sudah sangat mengakar adalah masyarakat petani. Kelompok terbesar dalam komposisi penduduk Indoensia ini mengenal sistem ‘tumpangsari’ serta membiarkan laba-laba, kumbang dan burung berada di lingkungan pertanian mereka serta pemeliharaan suatu ikan jenis tertentu dan membiarkan ular air berkembang biak di areal persawahan (Mitchell, 2003: 300). Sistem ‘tumpangsari’ adalah praktek penanaman beragam biji-bijian sebagai bagian dari peladangan berpindah yang banyak meniru kompleksitas dan keragaman sistem vegetasi wilayah sub-tropis dan tropis. Model pertanian ini dilakukan dengan cara menanam beberapa jenis tanaman yang berbeda dalam suatu areal atau petak tanah secara bersamaan. Pada awalnya, sistem pertanian ini dianggap ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan ilmu pertanian modern karena tidak efisien secara kuantitas dan kualitas hasil yang akan didapatkan. Akan tetapi terdapat tujuan yang baik dan penting adanya kearifan lokal ini, yaitu untuk melindungi tanah dari sinar matahari langsung, mengurangi pemanasan langsung pada permukaan tanah, menjaga permukaan tanah dari proses erosi, penggunaan volume tanah secara efisien dan mengurangi kerentananan tanah dari hama dan serangga perusak. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kecepatan tumbuh beragam tanaman tersebut membuat tanah menjadi permanen, di samping itu juga karena tanahnya selalu ditutupi oleh tanaman tersebut secara terus menerus serta sistem akar tanaman tersebut yang bervariasi.

Hama menjadi momok yang menakutkan bagi para petani karena akan berakibat pada penurunan produktivitas pertanian, bahkan dapat pula gagal sama sekali. Pada tahun 1974, ribuan hektar tanaman padi yang ada di Pulau Jawa dan Bali diserang dan dirusak oleh hama wereng serta memusnahkan 3 juta ton produksi padi (Rigg, 1999: 62-63). Untuk mengatasi hal ini, sistem pengetahuan modern menciptakan beragam varitas padi baru yang diyakini kebal terhadap serbuan hama bernama Latin nilaparvata lugens yang selama ini menyerang padi-padi jenis lokal. Namun demikian, varitas-varitas padi baru ini ternyata tetap diserang wereng yang telah bertransformasi menjadi hama yang berjenis baru juga. Padahal dalam masyarakat petani sebenarnya mengenal suatu kearifan lokal yang selama ini dipakai untuk menangkal hama wereng, yaitu membiarkan suatu jenis kumbang dan laba-laba berkembangbiak di areal pertanian. Kedua spesies hewan yang biasa beraktivitas di daun-daun padi ini menjadikan wereng sebagai salah satu makanannya sehingga secara alami dapat mengontrol populasi wereng yang sering ditakutkan para petani tersebut. Seekor laba-laba, seperti laba-laba serigala (Lyosa pseudoannulata), dapat memangsa 5-15 hama wereng setiap harinya (Rigg, 1999) dan bagaimana jika ada ratusan laba-laba di sawah yang tentunya akan dapat mengurangi hawa ereng secara signifikan.

Di samping wereng, hama ulat juga menjadi sesuatu yang dihindari oleh petani dan masyarakat pada umumnya sebagaimana yang kini banyak terjadi di berbagai daerah di Jawa dan Sumatera. Untuk mengatasi hal ini sebenarnya juga ada pengetahuan lokal yang kini seakan ditinggalkan, yaitu pelestarian beragam jenis burung yang memangsa ulat-ulat tersebut. Namun demikian, seiring dengan kian menipisnya areal hutan yang menjadi habitatnya akibat beragam keperluan manusia, populasi burung pun menjadi berkurang secara drastis sehingga ulat-ulat bulu menjadi semakin merajalela akibat ketiadaan pemangsa alaminya. Ular air dan ikan-ikan kecil juga dibiarkan dan pelihara oleh para petani sawah sebagai pengetahuan lokal yang mereka miliki untuk menghindarkan pertanian mereka dari beragam hama yang terdapat di akar-akar padi mereka. Serbuan ulat bulu di tahun 2011 dan serangga tomcat di beberapa daerah di Jawa Timur di awal 2012 ini bisa jadi merupakan dampak dari penggunaan insektisida yang berlebihan di lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Penggunaan obat-obatan kimia memang membuat tanaman tumbuh dengan baik dan lebih cepat, tetapi di sisi lain membuat pemangsa alami hama tanaman dan beragam jenis serangga, seperti laba-laba, burung dan kumbang, juga ikut mati. Akibatnya ulat bulu dan serangga dengan leluasa hidup dan berkembangbiak serta berkeliaran bahkan sampai ke pemukiman masyarakat.

Demikianlah beragam pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat kita, beberapa di antaranya masih tetap dipertahankan dan beberapa di antara yang lainnya sudah dilupakan dan ditinggalkan. Dunia modern yang ditandai dengan penggunaan sepenuhnya nalar ilmiah dalam setiap aktivitas manusia memang sedikit banyak telah menenggelamkan warisan-warisan masa lalu yang ditinggalkan nenek moyang. Nalar ilmiah menjadi satu-satunya indikator penerimaan suatu hal yang dapat dilakukan oleh komunitas masyarakat, jika dianggap tidak logis maka cenderung akan ditinggalkan. Itulah konsekuensi yang harus dialami oleh beragam warisan masa lampau dalam dunia modern. Terdapat banyak dampak yang ditimbulkan oleh modernisasi, baik positif maupun yang dianggap negatif. Efek positif yang dihasilkan oleh modernisasi di antaranya adalah perkembangan peralatan komunikasi dan informasi yang membuat dunia layaknya sebuah perkampungan dalam bingkai ‘globalisasi’ atau desa buana sehingga memungkinkan manusia berinteraksi dengan banyak orang di belahan bumi lainnya. Sedangkan efek negatifnya terjadinya pergeseran nilai dan kepercayaan di tengah-tengah masyarakat dan lain sebagainya (Giddens, 2005; Piliang, 2004a; Piliang, 2004b).

Beragam local knowledge sebagaimana yang dikemukakan di atas memang sangat bernuansa religius-mistis dan cenderung tidak masuk akal dalam nalar modern saat ini. Namun demikian, warisan-warisan nenek moyang kita tersebut sebenarnya memiliki aspek positif yang sangat besar bagi kelangsungan dan kelestarian beragam sumberdaya yang sangat berguna di sekeliling kita. Hutan Larangan, Lubuk Larangan, pelestarian burung dan ular yang keberadaannya dilengkapi dengan bumbu-bumbu mistik yang berkonotasi menakutkan jika dilihat sepintas lalu adalah kegiatan-kegiatan yang ketinggalan zaman. Namun lihatlah manfaat positifnya bagi pelestarian hutan, sumber air dan sungai serta pertanian yang sekian lama terbukti mampu mencegah aktivitas yang berujung pada degradasi sumberdaya alam dan lingkungan sedini mungkin. Bumbu-bumbu mistis yang dianggap tidak logis dalam beragam kearifan lokal tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk mencegah masyarakat dalam melakukan perbuatan yang ‘semena-mena’ terhadap sumberdaya alam tersebut. Karena tingkat pengetahuan masyarakat pada saat itu masih pada taraf teologi, maka aturan dan ketentuan pelestarian sumberdaya alam yang dibuat pun harus mengikuti karakteristik seperti itu. Karena model berpikir manusia pada masa diciptakannya kearifan lokal ini masih belum menggunakan penalaran ilmiah, maka bumbu mistik berupa makhluk gaib dan kekuatan supernatural lainnya menghiasi aturan dan ketentuan tersebut. Hal ini jika meminjam istilah yang dikemukakan oleh Auguste Comte (1798-1857), seorang ilmuan sosial terkemuka asal Perancis yang dianggap sebagai penemu fisika sosial yang pada tahun 1839 diganti menjadi sosiologi. Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia terbagi atau melalui tiga tahapan (fase), yaitu: teologi atau fiktif; metafisik atau abstrak; dan ilmiah atau positif. Pada fase teologi, pemikiran manusia menganggap bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal yang supernatural dan berlangsung pada era sebelum 1300. Sedangkan fase kedua (metafisik) berlangsung pada era 1300-1800 yang ditandai dengan pemikiran manusia yang menganggap bahwa semua gejala bukan berasal dari hal-hal yang supernatural seperti pada tahapan pertama, tetapi berasal dari kekuatan-kekuatan abstrak. Terakhir, fase ilmiah yang berlangsung sejak era 1800 yang ditandai dengan model pemikiran manusia yang berlandaskan pada penalaran dan pengamatan yang kelak memunculkan pengetahuan ilmiah (Ritzer & Goodman, 2004: 16-20; Johnson, 1988: 84-86; Jary, 1991: 107-109; Abercrombie, 2006: 104).  Dengan demikian, di dunia modern atau fase ilmiah menurut Comte yang ditandai dengan penggunaan nalar ilmiah sebagai indikator penerimaan sebuah aktivitas, kearifan-kearifan lokal tersebut tetap dapat diterapkan dengan memperhatikan manfaat-manfaat positif yang ditimbulkannya.

Penutup

Beragam bencana alam yang ‘rutin’ menimpa negeri yang dikenal memiliki sumberdaya alam yang kaya ini seharusnya menyadarkan kita akan signifikansi kelestarian alam. Nenek moyang kita telah mewariskan beragam kearifan lokal yang sebenarnya dimaksudkan untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan alam dengan beragam sumberdaya di dalamnya. Meskipun dunia modern meniscayakan penggunaan nalar ilmiah dalam beraktivitas, tetapi beragam kearifan lokal tersebut sebenarnya bertujuan sangat baik dan mulia meskipun dibumbui oleh hal-hal yang mistik. Merevitalisasi beragam kearifan lokal yang ada dalam masyarakat Indonesia sudah semestinya gencar dilakukan agar aneka ragam bencana alam dapat diantisipasi atau paling tidak diminimalisasi. Upaya yang dilakukan untuk pelestarian alam dalam bingkai revitalisasi kearifan lokal sehingga beragam bencana alam paling tidak dapat dikurangi tentu tidak cukup hanya dilakukan oleh sekelompok orang saja. Saat ini yang sangat diperlukan adalah kesadaran kolektif segenap komponen masyarakat untuk melestarikan alam melalui revitalisasi kearifan lokal yang dimiliki oleh masing-masing komunitas. Selanjutnya, agar upaya ini dapat berjalan efektif perlu adanya payung hukum, paling tidak berupa peraturan daerah yang mengatur keberadaan kearifan lokal tersebut. Hal ini sebagaimana yang dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan yang mengeluarkan Peratuan Daerah No. 19/1988 tentang Pengelolaan Lubuk Larangan. Hal yang sama juga dapat dilakukan pada beberapa kearifan lokal masyarakat Indonesia lainnya, seperti Hutan Larangan. Upaya ini sangat mungkin dilakukan seiring dengan berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22/1999 yang memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk menata wilayahnya dengan memperhatikan karakteristik budaya dan tradisinya yang khas. ?  Yogyakarta, medio 2011

 

DAFTAR PUSTAKA

 Abercrombie, Nicholas. dkk. 2006. Kamus Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Caplow, Theodore. 1971. Elementary Sociology. NJ: Prentice-Hall & Englewood Cliffs.

Chamber, Robert. & P. Richards.  1995. ‘Preface’, dalam D.M. Warren dkk. (peny.). The Cultural Dimension of Development: Indigenous Systems. London: Intermediate Technology Publications.

Giddens, Anthony. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Horton, Paul B. & Chester L. Hunt. 1984. Sosiologi. Surabaya: Penerbit Erlangga. Jilid I.

Johnson, Doyle Paul. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Jary, David. & Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: HarperCollins Publishers.

Lubis, Zulkifli B. 2005. Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Tapanuli Selatan. Jurnal “Antropologi Indonesia”. Departemen Antropologi Fisipol Universitas Indonesia Jakarta. Volume 29 No. 3 Tahun 2005.

Mitchell, Bruce. dkk. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pahrudin HM. 2010. Menelisik Aktivitas Penambangan Emas di Sungai Tabir-Jambi. Jurnal “Sosiologi Reflektif” Program Studi Sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Volume 4 No. 2 April 2010.

Piliang, Yasraf Amir. 2004a. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.

————————–. 2004b. Posrealitas, Realitas Kebudayaan Dalam Era Metafisika. Yogyakarta: Jalasutra.

Poerwanto, Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rigg, J. 1999. Local Knowledge, Expert Knowledge. Dalam J. Rigg (Ed.) The Human Environment. Jakarta: Archipelago Press.

Ritzer, George. & Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Zakaria, Y.R. 1994. Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Walhi.

www.okezonenews.com//bnpb-bencana-alam-terjadi-ditahun-2011. Akses 20 Maret 2012.

www.kompas.com//statistik-bencana-alam. Akses 20 Maret 2012.

www.waspadaonline.com//daftar-bencana-banjir-di-Indonesia. Akses 20 Maret 2012.

Kondisi Sosial Masyarakat Tabir Ilir-Jambi

Oleh : Pahrudin HM, M.A.

Jambi adalah salah satu provinsi yang ada di Pulau Sumatera. Berbatasan dengan Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Riau dan Bengkulu. Provinsi ini memiliki areal perkebunan karet dan kelapa sawit yang telah sejak lama menjadi tumpuan hidup masyarakatnya. Salah satu kabupaten di Provinsi Jambi yang memiliki areal perkebunan karet dan kelapa sawit yang cukup luas adalah Kabupaten Merangin. Kabupaten ini pada awalnya bernama Kabupaten Sarolangun Bangko atau yang biasa disingkat dengan Sarko. Namun setelah era reformasi bergulir, beberapa kabupaten yang ada di Provinsi Jambi mengalami pemekaran termasuk di dalamnya Kabupaten Sarko yang berubah menjadi Kabupaten Merangin dengan ibukotanya Bangko dan Kabupaten Sarolangun.

Seiring dengan pemekaran wilayah kabupaten tersebut, kecamatan-kecamatan yang ada di dalamnya pun mengalami hal yang serupa. Kecamatan Tabir yang dahulu mencakup wilayah yang luas dalam Kabupaten Merangin pun mengalami pemekaran. Kecamatan ini berkembang menjadi beberapa kecamatan, seperti Tabir Ulu yang berpusat di Muara Jernih, Tabir Ilir yang berpusat di Rantau Limau Manis, Margo Tabir di Margoyoso dan lain sebagainya. Salah satu wilayah pemekaran Kecamatan Tabir yang cukup menyita perhatian adalah Tabir Ilir karena di samping memiliki sumberdaya alam berupa perkebunan karet dan kelapa sawit yang cukup luas, juga menjadi salah satu wilayah yang didominasi para penduduk asli. Sedangkan beberapa wilayah lainnya, seperti Margo Tabir, Tabir Selatan dan Tabir Lintas merupakan wilayah yang didominasi para pendatang yang sebagian besar berasal dari Jawa.

Berbicara mengenai Tabir Ilir, tentu tidak bisa dilepaskan dari Desa Rantau Limau Manis. Desa ini sebelumnya termasuk dalam kategori daerah terpencil atau pelosok karena lokasinya yang jauh dari pusat kota, baik dari ibukota propinsi (Jambi) maupun ibukota kabupaten (Bangko). Namun demikian, setelah terjadinya pemekaran maka lambat laun isolasi yang selama ini mengiringi desa ini mulai hilang seiring dengan pembangunan jalan yang menghubungkannya dengan wilayah sekitarnya.

Untuk menjangkau desa yang dikelilingi oleh sejumlah areal perkebunan ini, maka dapat memanfaatkan angkutan darat dari kota Jambi dengan jarak tempuh sembilan jam untuk ukuran normal. Hal ini karena beberapa ruas jalan dalam kondisi yang kurang layak untuk ditempuh karena banyak terdapat lubang di sana sini, terutama di saat musim hujan. Saat ini, kondisi jalan yang kurang layak terutama terdapat pada sebagian besar jalan propinsi yang merupakan bagian terbesar jalur ini, di samping jalan negara yang berupa jalan Lintas Sumatera.

Setelah sampai di kota Bangko, perjalanan dilanjutkan dengan kendaraan yang berukuran lebih kecil (angkutan pedesaan) yang memang diperuntukkan untuk menempuh perjalanan melalui pedesaan yang ada di Kabupaten Merangin. Jarak tempuh yang mesti dilalui untuk mencapai desa ini dari kota Bangko adalah tiga jam perjalanan dalam kondisi normal, karena kondisi jalan yang juga kurang baik. Perjalanan ini pun harus dibagi dua, karena satu jam perjalanan ditempuh dari kota Bangko menuju kota kecamatan Tabir, Rantau Panjang. Perjalanan kemudian dilanjutkan juga dengan angkutan pedesaan selama dua jam untuk mencapai desa lokasi penelitian ini. Sepanjang perjalanan, kita akan menemui beraneka ragam desa dengan bermacam karakteristik. Satu desa terlihat begitu tertata rapi sistem pemukimanannya, kehidupan masyarakatnya terlihat begitu makmur terutama tampak pada beragam fasilitas yang milikinya. Tetapi pada desa lainnya justru terlihat sebaliknya, terkesan kumuh dan memiliki fasilitas apa adanya sesuai kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat desa tersebut.

Desa Rantau Limau Manis ini terletak di pinggiran sungai Tabir yang bersumber dari Danau Kerinci, Kabupaten Kerinci-Jambi, dan bermuara di Sungai Batanghari yang merupakan salah satu sungai terbesar di Sumatera. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat desa ini, dan juga hampir sebagian besar desa yang ada di Propinsi Jambi, merupakan masyarakat sungai, karena sejak dahulu aktivitas masyarakatnya banyak menggunakan sarana sungai sebagaimana yang umumnya juga banyak dijumpai di hampir sebagian besar wilayah pulau Sumatera.[1] Sungai juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan mencuci, mandi dan buang hajat. Meskipun demikian, beberapa tahun belakangan ini hanya sebagian kecil masyarakat saja yang masih melakukan hal serupa karena di beberapa rumah telah tersedia kamar mandi dan fasilitas mencuci yang modern.

Sebelum dilakukan pemekaran kecamatan pada tahun 2006,  Rantau Limau Manis merupakan wilayah desa paling terpencil atau desa terakhir dalam Kecamatan Tabir yang dapat ditempuh menggunakan angkutan darat, selebihnya harus menggunakan sarana angkutan sungai. Namun demikian pada tahun 1999, jalan yang melintasi desa ini telah diaspal sehingga cukup membantu masyarakat melakukan aktivitas kesehariannya. Walaupun demikian sangat disayangkan ternyata pengaspalan jalan yang cukup baik ini tidak dilakukan di kawasan desa lainnya yang dilintasi jalur ini. Padahal ruas jalan terbesar justru terdapat di wilayah desa lainnya sehingga setelah memasuki wilayah kecamatan Tabir kita mesti disuguhi kondisi jalan yang rusak baru kemudian menjumpai jalan yang diaspal cukup baik. Dapat dimengerti memang bahwa umumnya masyarakat desa lain yang dilintasi jalur menuju Desa Rantau Limau Manis ini kurang memiliki tingkat ekonomi dan politik yang tinggi dan kuat sehingga mampu melakukan bargaining position di tingkat pengambil kebijakan di pemerintahan daerah. Hal ini terbukti dengan keberhasilan lobi yang dilakukan oleh masyarakat desa ini kepada bupati untuk pengaspalan jalan desa dan beragam kondisi yang ada di desa ini dengan beragam fasilitas yang dimilikinya hanya dapat disamai oleh ibu kota kecamatan Tabir, Rantau Panjang.

Rumah-rumah penduduk berdiri berjejer di sepanjang jalan yang dilalui, walaupun terkesan kurang rapi, tetapi cukup tertata dengan baik. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya paling dekat sekitar lima meter, bahkan di beberapa sudut desa ada yang sampai berjarak puluhan meter. Hal ini karena tradisi yang berlaku di desa ini adalah dalam membangun rumah biasanya mesti berdekatan dengan keluarga dan kerabat sendiri atau paling tidak orang yang telah dikenal. Apalagi bagi yang memiliki anak perempuan, maka menjadi kewajiban orang tua untuk menyiapkan rumah bagi anaknya jika kelak berumah tangga. Hal ini dilakukan oleh masyarakat desa ini di samping untuk memudahkan saling silaturrahmi, juga agar senantiasa dapat menjaga kedekatan emosional antar sesama keluarga.

Sebagian besar rumah yang ada di desa ini telah dibangun dengan sistem konstruksi modern, yaitu menggunakan semen dan lain sebagainya. Perubahan konstruksi bangunan yang ada di desa ini dapat dikatakan terjadi baru belakangan ini saja setelah masyarakat mengenal jenis konstruksi beton yang ternyata lebih kuat dan mudah untuk dikerjakan. Di samping itu, jenis bahan bangunan ini mudah didapat seiring dengan terbukanya jalur transportasi darat yang menghubungkan ke kota terdekat. Meskipun demikian, masih banyak juga dijumpai masyarakat yang masih menggunakan konstruksi lama atau memakai kayu sebagai bahan baku utama.[2] Bentuk bangunannya pun beragam, tetapi sebagian besar bergaya khas Melayu yang atapnya berbentuk lonjong dilengkapi dengan semacam serambi di sisi-sisinya. Lokasi lain yang juga dipilih masyarakat sebagai tempat pemukiman adalah pinggiran sungai yang memang telah lama menjadi urat nadi wilayah ini. Meskipun demikian, lokasi ini dipilih oleh masyarakat yang telah tinggal lama di tempat tersebut yang digunakan untuk menghubungkan wilayah-wilayah yang ada. Bentuk rumahnya pun tak jauh berbeda dengan yang ada di sepanjang jalan, tetapi biasanya berbentuk panggung (tingkat) untuk mengantisipasi terhadap luapan air sungai yang rutin terjadi.

Untuk menggantikan lokasi pinggir sungai sebagai lahan pemukiman yang kurang diminati lagi, masyarakat juga memanfaatkan areal perkebunan sebagai lokasi pemukiman. Hal ini biasanya dilakukan oleh para pekerja penyadap karet yang merupakan penduduk pendatang dari berbagai daerah di luar desa ini. Meskipun demikian, beberapa tahun belakangan ini masyarakat asli desa ini pun turut membangun rumah di lokasi ini berbaur dengan penduduk pendatang tersebut. Hal ini ditambah lagi dengan keberadaan program transmigrasi yang dilakukan pemerintah, di mana areal pemukiman yang diperuntukkan bagi kalangan transmigran berada tidak jauh dari desa dan perkebunan warga yang menambah ramai suasana yang dahulunya hanya ditinggali warga setempat. Tidak mengherankan jika kemudian muncul pemukiman-pemukiman baru di sekitar desa, karena dengan alasan efektivitas rumah di lokasi perkebunan mereka. Bahkan, banyak di antara mereka yang tetap membangun rumah di lokasi perkebunan meskipun sebenarnya telah memiliki rumah di desa. Realitas ini berdampak pada makin luasnya wilayah pemukiman desa, di samping implikasi lainnya yaitu makin sulitnya mengumpulkan masyarakat jika ada keperluan karena makin berpencarnya keberadaan mereka tersebut.

Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan yang berlaku di wilayah ini adalah pemerintahan desa yang dipegang oleh seorang kepala desa atau disini biasa disebut rio.[3] Seorang kepala desa dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui sebuah pemilihan yang diadakan oleh suatu panitia yang dibentuk. Calon-calon yang dipilih biasanya mengajukan diri secara pribadi dengan cara mendaftarkan diri pada panitia pemilihan dengan melengkapi persyaratan-persyaratan yang mesti dipenuhi. Bisa juga calon-calon walaupun tetap mengatasnamakan pribadi. Pada masa lalu, terutama sebelum era reformasi bergulir, calon-calon yang akan maju pada pemilihan kepala desa harus berasal dari kontestan pemilu yang dominan di desa ini, walaupun hal ini tidak diisyaratkan secara tertulis. Meskipun demikian, pernah juga ada calon kepala desa yang berasal dari partai politik yang tidak dominan di desa ini dan berhasil memenangkan kursi kepala desa. Namun demikian, hal sedemikian baru terjadi sekali dalam sejarah pemilihan kepala desa yang hingga saat ini telah diadakan sebanyak sepuluh kali sejak era pemerintahan orde baru. Calon-calon kepala desa yang akan maju dalam pemilihan haruslah orang yang sudah dikenal segala kemampuannya oleh masyarakat, diutamakan yang berpendidikan dan biasanya berasal dari keluarga atau keturunan pendiri atau tokoh masyarakat desa ini.

Dalam sejarah desa ini, jabatan kepala desa selalu dipegang oleh dua golongan yang ada di desa ini, yaitu kalangan ulama dan pemangku (birokrat) yang secara bergantian memegang tampuk pemerintahan desa ini, walaupun sebenarnya hal ini tanpa direncanakan sebelumnya. Dengan kategorisasi seperti ini, seringkali terjadi gesekan yang berupa riak-riak kecil di tengah masyarakat jika salah satu pihak tidak berhasil memenangkan pemilihan.Kondisi seperti ini biasanya berujung pada timbulnya rasa ketidakpuasan di kalangan tertentu hingga menghendaki pelengseran jabatan kepala desa. Bahkan, beberapa tahun sebelum era reformasi bergulir di negeri ini, Desa Rantau Limau Manis telah beberapa kali mengalami pergantian pucuk pimpinan yang bukan pada waktunya.

Dalam melakukan tugasnya sehari-hari, seorang kepala desa dibantu oleh seorang Sekretaris Desa, Kepala-kepala Urusan (Pembangunan, Pemerintahan dan Budaya), di samping lembaga-lembaga lain yang dibentuk untuk mengurusi permasalahan khusus, seperti Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM) serta Karang Taruna. Meskipun demikian, sekarang ini sedang dipersiapkan dan sudah disahkan oleh DPRD Kabupaten Merangin untuk menjadi sebuah wilayah kelurahan yang merupakan pusat kota kecamatan atas pemekaran wilayah administrasi Kecamatan Tabir menjadi Kecamatan Tabir Ilir.

Tabel 1

Pembagian Wilayah Desa Rantau Limau Manis

No Nama Pedusunan Cakupan Wilayah
1

2

3

Dusun Bukit Jung

Dusun Muaro Mendelang

Dusun Rantau Palembang

RT 01 dan RT 04

RT 05 – RT 07

RT 08 – RT 10

Sumber: Buku Profil Desa Rantau Limau Manis, 2008

Desa ini terbagi menjadi tiga wilayah pedusunan dan terdiri dari sepuluh Rukun Tetangga (RT) yang masing-masing wilayah pedusunan dipimpin oleh seorang kepala dusun yang disini lazim disebut dengan Palimo atau Panglima dan ketua RT. Meskipun demikian, sebagaimana lazimnya yang ada di pemerintahan desa pada umumnya, Desa Rantau Limau Manis tidak mengenal apa yang dinamakan Rukun Warga (RW).

Sejarah Berdirinya Desa

Menurut penuturan beberapa pemuka masyarakat yang terdiri dari tetua adat setempat,[4] desa ini telah terbentuk jauh sebelum kedatangan penjajah Belanda. Pada awalnya, pemukiman penduduk desa ini berada di wilayah Dusun Tunggul Bulin (kini Desa Tunggul Bulin) yang merupakan cikal bakal terbentuknya Desa Rantau Limau Manis. Bahkan pada awalnya, wilayah desa mencakup beberapa wilayah desa sekitar yang sekarang ada. Para pemukimnya pun terdiri dari  alias masih bersaudara yang terikat satu dengan yang lainnya. Baru kemudian setelah berdatangan para pendatang dari bermacam-macam daerah yang kemudian membentuk komunitas sendiri dan akhirnya membentuk wilayah tersendiri. Orang-orang yang datang dari belantara timur desa ini, tepatnya wilayah peladangan Muara Teleh, kemudian membentuk pemukiman di bagian barat desa ini hingga menjadi Desa Ulak Makam saat ini.

Sedangkan para pendatang membuka beragam pemukiman baru di sekitar desa ini. Misalnya, komunitas transmigran yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa atas prakarsa dan fasilitas pemerintah membuka pemukiman baru di wilayah timur, utara dan selatan desa. Pemukiman-pemukiman baru ini kemudian membentuk bermacam-macam unit transmigrasi yang selanjutnya menjelma menjadi desa-desa baru yang berdiri sendiri. Adapun orang-orang yang berasal dari Palembang, Padang, Kerinci dan Medan biasanya hanya pendatang musiman yang hanya pada beberapa perkebunan yang ada di desa ini. Meskipun demikian, terdapat beberapa orang di antara mereka yang kemudian menetap di desa ini karena telah mendapatkan pekerjaan yang tetap atau menikah dengan penduduk setempat.

Sebagaimana yang banyak dibicarakan orang, bahwa Desa Rantau Limau Manis sangat terkenal dengan perkebunan karetnya. Komoditas ekspor ini memang erat kaitannya dengan kebiasaan masyarakatnya yang gemar bertani dan berkunjung dari satu daerah ke daerah lainnya. Menurut penuturan beberapa tetua desa dan tokoh masyarakat,[5] Rantau Limau Manis adalah sebuah desa yang dapat dikategorikan sebagai salah satu wilayah desa paling awal yang melakukan pengelolaan karet yang dilakukan oleh rakyat di Kabupaten Merangin, meskipun tidak ditemukan adanya bukti tertulis yang menyebutkannya.

Satu-satunya fakta yang dapat dijadikan bukti adalah beberapa areal perkebunan karet yang sudah tua dan berumur hampir seabad yang diyakini merupakan karet tertua yang ada di wilayah ini. Areal ini diyakini sebagai tempat penanaman karet pertama yang dilakukan nenek moyang masyarakat desa ini. Bibit-bibit karet tersebut mereka dapatkan dari Singapura sekitar tahun 1890-an dengan cara dimasukkan ke dalam peti yang terbuat dari kayu dan terkunci rapat, kemudian dibawa berlayar ke desa ini dengan menggunakan perahu. Pada saat itu, mereka karet saja dengan pertimbangan ketatnya blokade yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda. Sejak saat itulah masyarakat wilayah ini mulai berkenalan dan bersentuhan dengan tanaman langka yang bernama karet tersebut. Hal ini kiranya sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Padmo yang menyebutkan bahwa beberapa orang dari Nusantara dikirim untuk mengunjungi beberapa perkebunan karet yang ada di semenanjung Malaka dan membeli bibitnya di sana serta mengusahakannya di tanah air.[6]

Tahun 1930-an merupakan saat sejarah awal yang menggembirakan bagi petani karet di desa ini karena saat itu areal perkebunan karet yang diusahakan oleh masyarakat sudah sedemikian luas. Tanaman karet tidak lagi menjadi hak monopoli kalangan tertentu dalam masyarakat, tetapi hampir sebagian besar masyarakat telah memiliki perkebunan karet sendiri. Meskipun demikian, orang-orang kaya dan mampu tetap mendominasi sektor ini dengan memiliki areal perkebunan yang lebih luas. Hal ini dapat dimengerti karena untuk mengusahakan komoditas ekspor ini pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit, mulai dari membuka hutan untuk areal perkebunan, memelihara dan menjaganya dari beragam hama yang mengancam pertumbuhannya, menyadapnya hingga menjualnya.

Seiring dengan makin luasnya areal perkebunan karet yang membutuhkan penanganan ekstra, sementara masyarakat yang ada tidak mampu menangani karena jumlah mereka yang terbatas, di samping juga karena masing-masing sibuk dengan tugasnya sendiri, maka masyarakat setempat berinisiatif untuk mendatangkan pekerja dari wilayah lain yang masih dalam propinsi Jambi yaitu dari Kerinci. Masyarakat Kerinci saat itu memang sangat membutuhkan pekerjaan karena hasil yang mereka dapatkan dari mengusahakan tanaman kayu manis tidak mencukupi hingga mereka menerima tawaran dari masyarakat Desa Rantau Limau Manis. Sejak saat itu, mulailah orang-orang dari luar daerah mengadu nasib di desa ini dan diperkenalkan dengan tanaman karet serta dipekerjakan di sektor ini.

Setelah beberapa saat orang-orang Kerinci mendominasi pengelolaan perkebunan karet di wilayah ini sebagai penyadap karet, maka pada tahun 1970-an secara berangsur-angsur mereka mulai menarik diri dari pekerjaan ini. Hal ini terjadi karena usaha perkebunan kayu manis yang mereka usahakan di Kerinci mulai menampakkan hasil yang menggembirakan karena laku keras di pasaran dengan harga yang tinggi. Di samping itu juga disebabkan banyaknya anggota keluarga mereka yang diterima menjadi pegawai negeri dan menduduki beragam jabatan di pemerintahan daerah dengan penghasilan yang cukup besar sehingga dapat menjamin kehidupan mereka. Menyikapi kenyataan ini, para pengusaha karet di desa ini cukup dibuat pusing juga sehingga akhirnya seorang pemilik perkebunan karet terbesar di wilayah ini berinisiatif untuk mendatangkan orang-orang Jawa, terutama dari Pati Jawa Tengah, yang telah lama dikenal sebagai pekerja yang ulet untuk dipekerjakan di sektor perkebunan karet rakyat di desa ini. Tindakan serupa diikuti oleh pemilik perkebunan karet lainnya sehingga jumlah pekerja yang datang dari Pati di desa ini mencapai angka ribuan hingga saat ini.

Para pekerja di sektor ini datang dengan membawa beberapa anggota keluarga yang biasanya terdiri dari seorang isteri dan satu orang anak laki-laki, atau minimal seorang laki-laki. Untuk melakukan pekerjaan di sektor ini maka diterapkan kebijakan dengan membagi beberapa hektar kebun untuk dikerjakan oleh beberapa orang. Biasanya beberapa hektar kebun karet tersebut hanya dikerjakan oleh satu keluarga dengan maksud agar hasil yang didapatkan dari pengelolaan itu tidak berpindah kepada orang lain atau berkumpul pada mereka saja. Selanjutnya, jika keberadaan mereka di sektor ini dianggap telah tua serta semakin lanjut usia dan tidak sanggup lagi bekerja, maka segera ia mencarikan gantinya yang biasanya berasal dari anak atau saudaranya untuk bekerja di pemilik perkebunan yang sama sehingga keberlangsungannya tetap terjaga, bahkan hingga saat ini.

Penguasaan perkebunan karet di desa ini sebagian besar dimiliki oleh kalangan ulama dan pemangku  yang merupakan golongan terpandang dan kaya dalam struktur masyarakat tidak resmi yang ada desa ini. Kedua kalangan ini diyakini dan dianggap merupakan keturunan dari para pendiri dan pemuka desa ini. Perkebunan-perkebunan karet tersebut mereka usahakan sendiri sejak dahulu dan ada juga yang merupakan warisan dari keluarga yang kemudian dikembangkan sehingga mencapai areal yang luas untuk siap dilakukan penyadapan. Orang-orang lain di luar kelompok ini sangat sulit untuk mengusahakannya karena membutuhkan biaya yang besar, meskipun ada beberapa yang mampu melakukannya tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit dan seadanya.

Berbeda halnya dengan kondisi yang terjadi di tempat lain, kepemilikan tanah oleh masyarakat Desa Rantau Limau Manis dilakukan dengan tanpa adanya sertifikat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Model kepemilikan tanah yang berlaku di tempat ini hanya diakui oleh pemiliknya dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi yang dianggap mengetahuinya. Batas-batas antara satu areal tanah dengan yang lainnya hanya dibuat seadanya dan alami, bahkan seringkali berdasarkan kondisi yang ada di lapangan seperti bukit, sungai, danau dan pohon besar. Beberapa orang memang ada yang memiliki surat yang menerangkan kepemilikan tanah atau lahan tersebut, tetapi hanya dibuat oleh kepala desa setempat dengan mencantumkan saksi-saksi yang mengetahui hal itu. Adanya surat semacam ini dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan agar ketika dilakukan jual beli maka tidak perlu repot-repot lagi menghubungi orang-orang yang dianggap mengetahui keberadaan tanah atau lahan tersebut.  Hal ini dapat terjadi karena memang tanah-tanah dan lahan-lahan tersebut pada awalnya memang berupa hutan belantara yang digarap sesuka hati masyarakat. Dengan telah digarapnya lahan tersebut, maka otomatis telah menjadi miliknya yang sah menurut adat yang berlaku dalam masyarakat desa ini dan orang lain tidak berhak mengklaimnya kecuali setelah dilakukan proses jual beli.

Keadaan Masyarakat

Desa Rantau Limau Manis dapat dikategorikan sebagai wilayah desa dengan jumlah penduduk yang relatif besar jika dibandingkan dengan wilayah lainnya yang ada dalam propinsi Jambi. Angka kelahiran dan kematian berbanding sangat kontradiktif yang berarti bahwa tingkat kelahiran sangat tinggi jika dibandingkan angka kematian. Kenyataan ini makin dikuatkan dengan adanya anggapan yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat bahwa banyak anak banyak rezeki. Hal ini berarti secara tidak langsung memotivasi masyarakat untuk memiliki keturunan sebanyak-banyaknya. Dengan ini dapat dipastikan bahwa setiap keluarga minimal memiliki tiga orang anak, padahal hampir setiap datangnya lebaran haji[7] akan ada minimal tiga pasang remaja yang melangsungkan pernikahan.

Realitas demikian bukan lantas mengindikasikan bahwa program pembatasan kelahiran (baca: KB atau Keluarga Berencana) yang dulu pernah menjadi program utama pemerintah tidak menyentuh lapisan masyarakat ini. Program semacam ini tetap berjalan sebagaimana mestinya di tengah masyarakat, tetapi yang mampu memahami dan melaksanakan hanya segelintir orang saja. Hal ini terbukti dengan terus gencarnya penyuluhan program ini di tengah masyarakat, tetapi di sisi lain sebagian besar mereka tetap hidup dengan ‘dogma’ yang telah mereka ketahui sejak nenek moyang mereka dahulu. Kalaupun ada yang benar-benar melaksanakan anjuran pemerintah tersebut, itupun hanya segelintir tersadarkan akan pentingnya program ini bagi mereka dan anak-anak mereka. Bahkan tidak jarang terjadi konflik di tengah masyarakat dalam menyikapi program ini. Satu pihak menganggap bahwa program ini sangat penting untuk mempersiapkan keturunan yang benar-benar berkualitas. Sementara di pihak lain menganggap bahwa program ini tidak lebih sebagai penyelewengan terhadap ajaran Islam, bukankah Allah telah menjamin rezeki setiap manusia, demikian menurut mereka ajaran Islam yang dimaksudkan.

Data statistik hingga Agustus 2005 yang ada di kantor desa setempat mengungkapkan bahwa jumlah penduduk Desa Rantau Limau Manis saat ini adalah 5.700 jiwa. Jumlah ini diyakini akan terus bertambah seiring dengan terus berlangsungnya pernikahan di tengah masyarakat sejalan dengan terus meningkatnya angka kesiapan usia pernikahan di kalangan remaja.[8] Realitas ini mungkin akan bertambah lagi dengan kian banyaknya pendatang yang menetap dan menjadi warga desa setiap waktu seiring dengan meningkatnya jumlah lapangan kerja yang tersedia.

Secara sosial, masyarakat desa ini dikenal ramah dan sangat santun dalam bersikap. Hal ini misalnya minimal terlihat dari penilaian-penilaian yang dilontarkan oleh beberapa pendatang musiman maupun yang telah menetap lama di wilayah ini. Ketika berjumpa bahkan tidak segan-segan mereka menyapa satu sama lainnya, bahkan terhadap orang asing sekalipun. Hal ini mungkin disebabkan oleh budaya mereka yang sangat menjunjung tinggi persaudaraan dan silaturrahmi dengan sesama. Lebih jauh, silahkan perhatikan kata-kata seorang penyadap karet asal Pati, Jawa Tengah mengungkapkan pandangannya berikut ini:

‘Dulu, saat pertama kali ada tawaran untuk bekerja sebagai penyadap karet di Sumatera, aku sempat ragu. Karena, menurut anggapan orang Jawa, terutama di daerahku, orang Sumatera itu keras-keras dan sulit menerima orang lain yang bukan dari kalangan mereka, apalagi untuk kerjasama. Tapi, kemudian aku berhasil diyakinkan oleh beberapa temanku hingga sekarang aku telah tinggal di sini selama hampir dua puluh tahun. Ternyata, orang-orang di sini sangat ramah bahkan terhadap kami yang bukan dari kalangan mereka sekalipun. Aku sangat betah dan nyaman tinggal dan bekerja di sini’.

Meskipun berpredikat sebagai penduduk mayoritas muslim, masyarakat desa ini sangat menjunjung tinggi toleransi beragama. Menurut pendapat masyarakat desa ini, setiap orang berhak untuk dihormati dan menghormati tanpa memandang latar belakang agama yang dianutnya. Hal ini terlihat dengan keramahan yang mereka tunjukkan terhadap orang-orang yang dari kalangan non-muslim. Kalangan seperti ini biasanya terdiri dari tenaga pengajar di sekolah-sekolah, tenaga kesehatan, penyuluh pertanian serta para pekerja di berbagai lapangan pekerjaan yang ada di desa ini. Sampai saat ini terbukti tidak pernah terjadi gesekan yang berujung pada perselisihan berlatar belakang agama, karena masing-masing pihak menghormati haknya

Di waktu sore hari, banyak di antara mereka yang memilih untuk bersantai di balai-balai yang berada di pinggiran sungai atau di depan toko-toko. Di sini terlihat bagaimana keakraban dan kebersamaan di antara mereka tetap terjaga. Topik-topik obrolan mereka pun beragam, ada yang seputar pekerjaan mereka, rumah tangga, masyarakat, bahkan persoalan politik dan ekonomi saat ini. Realitas demikian ini wajar terjadi karena dengan keuntungan penjualan karet yang mereka miliki, masyarakat desa ini dapat mengakses beragam informasi melalui sarana radio dan televisi. Sebagian besar rumah di desa ini telah memiliki perangkat parabola, karena memang jaringan televisi tidak dapat diakses secara langsung di sini, untuk menangkap siaran televisi dalam maupun luar negeri yang tentunya makin menambah wawasan mereka tentang beragam hal yang terjadi di berbagai belahan dunia. Sarana telekomunikasi, terutama hand phone, mulai menjamur dan tidak lagi menjadi barang langka di desa ini karena hampir sebagian orang, terutama para remajanya, telah memiliki perangkat komunikasi yang satu ini.

Dari aspek politik, masyarakat desa ini adalah warga negara yang baik, terutama terindikasi dari tingginya tingkat partisipasi masyarakat untuk mengikuti beragam pemilihan umum yang diselenggarakan di negeri ini. Masyarakat dengan sukarela dan tanpa intimidasi dapat memilih partai politik yang menjadi pilihannya. Beragam partai politik dapat membuka diri di desa ini, meskipun demikian tetap saja partai politik yang sudah mengakar kuat di tengah masyarakat yang muncul sebagai pemenang. Pada pemilu-pemilu sebelum era reformasi 1998, Partai Golkar (kala itu bernama Golkar saja) menjadi pemenang mutlak di desa ini yang berarti partai ini sangat kuat pengaruhnya dalam setiap lubuk hati masyarakat desa ini. Sebagian kecil masyarakat juga memilih Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai pilihannya sebagai manifestasi keIslaman yang merupakan agama mayoritas di desa ini, dan tidak ada satu pun yang memilih partai peserta selain keduanya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Namun demikian, apa yang mengemuka kemudian di era pasca reformasi justru terjadi perubahan yang signifikan, meskipun Partai Golkar tetap mendominasi perolehan suara di desa ini. Pasca terjungkalnya Orde Baru yang dipahami sebagai masa keterbukaan, pilihan masyarakat menjadi beragam bahkan terhadap parpol yang selama ini dikenal dengan nasionalis dan non-muslim sekalipun. Pada Pemilu 1999 dan 2004, Partai Golkar tidak lagi menjadi pemain tunggal yang menjadi pihan masyarakat dalam pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Warga masyarakat yang mempunyai hak pilih banyak yang beralih kepada partai-partai lain, terutama yang terasosiasi dengan Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sekalipun, meskipun jumlah perolehan suaranya belum mampu menggeser dominasi Partai Golkar. Namun demikian, dari dua kali penyelenggaraan pemilu pasca reformasi mencuatkan suatu kenyataan bahwa parpol lama, terutama Partai Golkar, ternyata lebih banyak dipilih oleh kalangan orang tua atau yang dulu mengalami masa keemasan parpol ini. Sedangkan kalangan anak muda yang berumur di bawah empat puluh tahunan lebih banyak menetapkan pilihannya kepada partai-partai baru yang memang banyak bermunculan setelah era multi partai jilid II ini. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah keluarga terdapat kedua orang tua yang menjadi pemilih Partai Golkar yang setia dan anak-anaknya yang berseberangan dengan kedua orang tuanya karena memilih partai-partai lainnya.

Meskipun demikian, perbedaan pilihan partai sejauh ini tidak terlalu menjadi hambatan dan memecah persatuan masyarakat desa ini. Konflik kecil-kecilan tetap terjadi, tetapi biasanya hanya mengemuka menjelang pemilu atau pilkada. Setelah event-event tersebut berlalu, maka perselisihan tersebut pun hilang dengan sendirinya. Hal ini dapat dimengerti karena masyarakat desa ini merupakan sebuah keluarga besar, di mana antara satu dengan yang lain jika ditelusuri measih memiliki hubungan darah alias bersaudara.

Pekerjaan Masyarakat

Sebagaimana orang-orang pada umumnya  yang mengandalkan kekayaan alam yang berlimpah, sebagian besar masyarakat desa ini memilih pertanian sebagai usaha untuk menghidupi keluarga dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pertanian dimaksud mencakup juga di dalamnya perkebunan yang terdiri dari beragam komoditas. Usaha perkebunan yang memiliki skala besar,-baik dalam kuantitas lahan maupun kualitas hasilnya bagi masyarakat-, yang dipilih oleh masyarakat desa ini adalah perkebunan karet yang memang telah menjadi komoditas utama yang diusahakan oleh masyarakat desa ini. Usaha ini dipilih karena di samping pengerjaannya relatif gampang, menurut tata cara mereka, juga karena lahan garapan yang tersedia sangat luas dan tidak dimiliki oleh siapapun yang berarti tidak perlu membeli serta hasil produksinya akan senantiasa ada setiap saat dan akan pasti menjamin masa depan yang lebih baik.

Jika melihat apa yang ada di lapangan memang sangat realistis dan sekaligus juga fantastis. Lahan perkebunan karet yang diusahakan masyarakat desa ini memang berada tidak jauh dari lokasi pemukiman mereka. Dahulu, seantoreo desa ini dikelilingi oleh hutan belantara yang masih perawan dan di sanalah masyarakat mengusahakan tanaman ini. Masyarakat tinggal datang ke hutan dan membuat batasan-batasannya dengan yang lain, kemudian dibakar dan ditanami karet di sela-sela padi yang juga turut ditanam. Luas arealnya pun terserah penggarapnya, sebatas kemampuan yang dimilikinya dan jika sudah demikian maka sudah sah lahan tersebut menjadi milik mereka. Maka tak mengherankan jika hampir sebagian sebagian masyarakat desa ini memiliki areal perkebunan karet yang menjadi tumpuan hidupnya. Kalaupun ada di antara mereka yang saat ini tidak memiliki lahan perkebunan, maka hal itu karena kekurangsabaran mereka menunggu saatnya diproduksi, akibatnya lahan tersebut mereka jual kepada orang lain. Bahkan data di pemerintahan desa menyebutkan angka 200.000 hektar perkebunan karet yang dimiliki oleh masyarakat desa ini. Jumlah sebesar ini tersebar di wilayah sekitar desa dan desa-desa tetangga, bahkan hingga melampaui batas teritorial Kabupaten Merangin.

Tanpa waktu yang relatif lama, karena hanya berkisar sekitar 10-15 tahun, maka pohon karet yang ditanam sudah dapat diproduksi getahnya untuk kemudian dijual. Satu hektar lahan dapat ditanami seribuan bibit pohon karet yang jika kelak saatnya diproduksi akan menghasilkan puluhan liter getah yang setelah dipadatkan akan menjadi puluhan kilogram karet. Jika dijual, maka hasil produksi yang sudah dipadatkan tersebut dapat terjual sekitar Rp. 9.000,-an per kilogramnya saat ini. Tidak mengherankan jika komoditas karet menjadi pilihan utama masyarakat desa ini untuk lebih meningkatkan taraf hidup mereka agar menjadi lebih baik.

Komoditas perkebunan lainnya yang juga diusahakan oleh masyarakat desa ini adalah kelapa sawit. Jenis usaha ini datang belakangan dalam masyarakat ini seiring dengan datangnya para transmigran dari Pulau Jawa yang banyak mengusahan komoditas ini. Meskipun demikian, perkebunan kelapa sawit masih menjadi komoditas ‘kelas dua’ yang diusahakan masyarakat desa ini. Ada beberapa alasan kiranya yang menjadi penyebab kurang berminatnya masyarakat mengusahan tanaman produksi jenis ini. Salah satunya adalah menyangkut permasalahan dana dan tenaga penggarap. Berbeda dengan karet, kelapa sawit membutuhkan dana yang besar untuk keperluan pengadaan bibit yang jauh lebih mahal dibandingkan karet, belum lagi biaya pupuk dan pemeliharaan oleh tenaga khusus. Persoalan lainnya adalah masalah pemasaran yang sangat sulit karena penjualannya mesti ke pabrik pengolahan secara langsung yang jaraknya sangat jauh dari lokasi penanaman komoditas di sektor ini.

Namun demikian, belakangan ini beberapa persoalan di atas sudah mulai dapat terpecahkan satu persatu. Pengadaan bibit tidak lagi membutuhkan biaya besar karena sudah banyak penjualan bibit di sekitar wilayah desa, demikian juga dengan pupuk serta perawatan yang sudah dapat ditangani sendiri. Pemasaran juga sudah dapat terpecahkan seiring dengan banyaknya berdiri pabrik-pabrik di sekitar desa yang memang mulai getol melakukan pengusahaan perkebunan kelapa sawit melalui beragam perusahaan.

Meskipun demikian, tetap saja komoditas kelapa sawit tidak dapat menggeser keberadaan karet dalam masyarakat desa karena, sebagaimana yang banyak diakui oleh masyarakat, bahwa hasil yang didapatkan kelapa sawit secara finansial tidak akan sebanding dengan karet. Sekali lagi hal ini menyangkut uang, di mana hasil yang didapatkan masyarakat dari penjualan karet jauh lebih besar berkali-kali lipat dibandingkan hasil penjualan kelapa sawit. Untuk itu, sampai saat ini masyarakat Desa Rantau Limau Manis tetap menjadikan karet sebagai komoditas utama di atas tanaman produksi lainnya, bahkan kelapa sawit dengan beragam keunggulannya sekalipun.

Keadaan Pendidikan

Secara subyektif tentunya kita akan menilai bahwa dengan kondisi perekonomian yang relatif sangat baik karena keuntungan yang didapatkan dari hasil perjualan karet, tentu masyarakat desa ini akan dengan mudah memilih pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Hal ini karena keuntungan finansial dari penjualan karet dapat dialokasikan oleh masing-masing keluarga untuk membiayai pendidikan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Namun demikian, kondisi obyektif yang terjadi ternyata berkata lain karena pendidikan di desa ini bukan menjadi prioritas utama bagi setiap keluarga.

Sektor pendidikan menjadi agenda yang tak diutamakan bagi mayoritas masyarakat di desa ini. Hal ini berdampak pada rendahnya jumlah masyarakat yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dari data statistik sebelum tahun 1990 yang terdapat di balai desa terlihat bahwa mayoritas masyarakat hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, bahkan lebih setengahnya tidak berhasil menamatkan pendidikannya. Hanya segelintir di antara mereka yang kemudian melanjutkan ke jenjang lanjutan, seperti SLTP dan SLTA. Lebih jauh lagi, data tersebut mengungkapkan bahwa hanya lima puluh orang di antara mereka yang melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana, tetapi hanya setengah di antara mereka yang berhasil menggondol gelar sarjana dari berbagai perguruan tinggi.

Bagi masyarakat desa ini, pendidikan dalam pemahaman mereka hanya terbatas bagaimana bisa membaca, menulis dan berhitung. Atau, paling tidak jika dikaitkan dengan jenjang pendidikan, maka bagi mereka pendidikan cukup hanya sampai Sekolah Dasar (SD). Setelah itu, anak-anak yang laki-laki dipersilahkan bekerja sendiri, atau bagi yang berasal dari kalangan ‘mampu’ maka difasilitasi untuk mencukupi kebutuhannya.[9]

Realitas ini terjadi bukan disebabkan minimnya sarana pendidikan yang ada di desa ini, karena sudah sejak lama sekolah-sekolah telah didirikan. Sarana-sarana pendidikan tersebut ada yang berdiri atas prakarsa masyarakat sendiri dan ada yang sudah berstatus negeri. Secara khusus diketahui memang sarana-sarana pendidikan yang ada di desa ini masih terbatas pada tingkat dasar. Meskipun demikian, sejak enam tahun yang lalu pemerintah telah mendirikan sarana pendidikan lanjutan (SLTP) di desa tetangga (Desa Ulak Makam) yang berjarak sekitar dua kilo meter dari desa ini. Begitu juga dengan sarana-sarana pendidikan yang banyak tersebar di sekitar desa ini, seperti di kecamatan dan kabupaten.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor finansial dan sarana pendidikan bukan menjadi kendala minimnya anak-anak yang menempuh pendidikan yang lebih tinggi di desa ini. Minimnya pemahaman masyarakat akan pendidikan menjadi faktor dominan sehingga membuat sektor krusial ini tidak menjadi sesuatu yang diprioritaskan. Hal ini terbukti dengan banyaknya anak-anak usia sekolah yang tidak melanjutkan pendidikannya, padahal mereka berasal dari kalangan orang kaya dan memiliki kemampuan studi layaknya anak-anak di daerah lainnya.

Meskipun demikian, kadang-kadang timbul juga kesadaran sebagian orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi di beragam tempat. Hal ini pada awalnya berhasil membuat anak-anaknya mengenyam pendidikan lanjut, tetapi tak bertahan lama karena rasa rindu akan fasilitas di rumah dengan segala kemewahannya membuat mereka tak betah hingga akhirnya berhenti.[10] Kenyataan seperti ini seringkali disiasati oleh orang tua dengan memindahkan sekolah anak-anaknya menjadi lebih dekat dengan rumahnya.

Seiring dengan perputaran waktu yang silih berganti, belakangan banyak masyarakat desa ini kian tersadarkan akan arti penting pendidikan bagi anak-anak mereka. Kesadaran ini tumbuh seiring dengan terbukanya wawasan dan pengetahuan mereka mengenai dampak negatif bagi anak-anak mereka di tengah dunia yang makin kompetitif ini. Mereka sadar bahwa di masa depan anak-anak tidak hanya cukup bermodalkan kekayaan saja, karena pendidikan sangat diperlukan.

Tabel 2

Sarana Pendidikan di Desa Rantau Limau Manis dan Sekitarnya

No

Sarana Pendidikan Status Tahun Berdiri
1

2

3

4

5

Madrasah Diniyyah

Sekolah Dasar (SD) I

Sekolah Dasar (SD) II

SLTP Hitam Ulu

SLTP 8 Tabir

Sekolah Swasta

Sekolah Negeri

Sekolah Negeri

Sekolah Negeri

Sekolah Negeri

1970-an

1980

1970-an

1990

2000

Sumber: Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kecamatan Tabir, 2005

Setiap pagi dapat dijumpai lalu lalang anak-anak yang berangkat ke sekolah, baik ke Sekolah Dasar maupun ke sekolah lanjutan. Di siang hari, sehabis sekolah umum, kegiatan pendidikan dilanjutkan di sekolah agama, dalam hal ini adalah Madrasah Diniyyah yang terletak berdampingan dengan masjid yang ada di desa ini. Secara kuantitas, angka masyarakat yang melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Data statistik desa tahun 1995 mengungkapkan bahwa sebagian besar anak-anak usia sekolah telah menyenyam bangku pendidikan, bahkan mereka juga melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi setelah tamat. Sekolah lanjutan juga diserbu sehingga bangku-bangku sekolah tersebut tidak pernah kosong pada setiap tahunnya. Khusus sekolah lanjutan, di samping SLTP yang banyak diminati, juga terdapat pondok pesantren yang juga diserbu para lulusan Sekolah Dasar. Pesantren-pesantren yang dipilih tersebut berada di beragam tempat, umumnya yang berada dekat desa, tetapi ada juga yang sangat jauh, seperti di berbagai kabupaten di Propinsi Jambi, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat.

Demikian pula halnya dengan jumlah keberlanjutan pendidikan ke perguruan tinggi yang secara kuantitas juga mengalami peningkatan. Hampir dipastikan bahwa setiap tahun terdapat generasi muda desa yang melanjutkan pendidikan tinggi di berbagai perguruan tinggi yang ada di Jambi, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat, bahkan hingga ke Pulau Jawa.

Sistem Kepercayaan

Seperti umumnya orang-orang Melayu yang merupakan bagian terbesar penduduk desa ini, mayoritas masyarakat desa ini adalah pemeluk agama Islam. Beragam tradisi keislaman tidak asing lagi bagi mereka, karena telah ada sejak zaman nenek moyang mereka dahulu. Seperti masyarakat pemeluk Islam lainnya, beragam aktivitas keagamaan senantiasa mereka jalani, seperti shalat lima waktu, shalat jumat, puasa Ramadhan dan ibadah haji. Khusus ibadah haji, ada keunikan tersendiri karena sebagian besar para pemuka masyarakat di sini bergelar haji, baik yang sekali bahkan ada yang sudah berkali-kali. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tatanan sosial-kemasyarakatan yang berlaku di desa ini adalah berlandaskan ajaran Islam, meskipun juga diakui masih terdapat secuil kepercayaan animisme yang masih melekat di tengah sebagian kecil masyarakat.[11]

Karena begitu kuatnya ajaran Islam tertanam di tengah-tengah masyarakat, hampir dipastikan bahwa setiap warga di desa ini dapat memahami ajaran Islam dan bisa membaca al-Qur’an. Realitas ini terjadi karena sejak kecil mereka memang telah terbiasa belajar mengaji sehingga berfungsi sebagai rutinitas keseharian. Pengajian-pengajian dan perlombaan-perlombaan keagamaan pun sering lakukan untuk lebih mendekatkan masyarakat akan ajaran agamanya.[12]

Beragam aktivitas peribadatan yang dilaksanakan oleh masyarakat desa ini dipusatkan di masjid yang cukup besar dan telah berumur puluhan tahun. Segala kegiatan keagamaan yang berskala besar dilakukan di sini, mulai dari ibadah shalat Jumat, shalat Ied, shalat Tarawih dan lain sebagainya. Sedangkan kegiatan keagamaan yang berskala kecil, seperti Yasinan setiap malam Jumat, biasanya dilaksanakan di mushalla-mushalla yang banyak tersebar di hampir setiap wilayah pedusunan. Bahkan, dengan alasan efisiensi dan efektivitas, penyuluhan dan pengumuman yang berkaitan dengan pemerintahan desa juga dilaksanakan di masjid ini.[13]

Budaya Masyarakat

Meskipun berpredikat sebagai orang-orang Islam, tetapi masyarakat Desa Rantau Limau Manis tetap menjunjung tinggi adat istiadat yang memang telah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kondisi seperti ini tampak mengemuka dengan adanya adagium yang sangat terkenal dalam masyarakat desa ini, yaitu adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah. Adagium ini berarti bahwa segala aspek kehidupan sehari-hari masyarakat diatur oleh adat yang diwarisi dari nenek moyang mereka, di mana adat tersebut dibuat berdasarkan ajaran Islam yang mereka anut. Walaupun demikian, dalam implementasi yang terjadi di lapangan tidak sepenuhnya begitu, karena beberapa adat istiadat tidak sepenuhnya sejalan dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Hal ini seperti terlihat dalam penerapan hukum waris yang menempatkan laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama, padahal dalam ajaran Islam laki-laki mendapatkan dua kali lebih besar dari perempuan. Demikian pula dengan hukum pembunuhan yang harus dibayarkan dengan seekor kerbau sebagai pampas an, padahal dalam Islam dilakukan hukum bunuh (qishas). Masih banyak lagi budaya dan adat yang berlaku di desa ini yang diyakini tidak sejalan dengan adagium yang menjadi pedoman masyarakat dalam bertindak sehari-hari.

Secara resmi masyarakat Desa Rantau Limau Manis, bahkan Propinsi Jambi pada umumnya, tidak mengenal adanya strata atau sturuktur sosial yang membedakan antara satu individu dengan individu lainnya. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari struktur sosial tersebut terlihat dan mengemuka dalam masyarakat. Berdasarkan pengamatan dan pemahaman peneliti di lapangan, struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat desa ini terdiri dari empat bagian, yaitu: ulama, pemangku, rakyat biasa dan pendatang. Golongan ulama adalah orang-orang yang merupakan ahli agama yang memang telah dikenal dalam masyarakat sejak dahulu kala. Golongan ini rata-rata bergelar haji atau memiliki pengetahuan agama yang lebih baik dibandingkan masyarakat kebanyakan yang ada di desa ini. Kelompok ini memegang jabatan imam masjid, guru mengaji dan beragam jabatan yang berkaitan dengan keagamaan yang ada di desa ini. Sedangkan kelompok pemangku adalah orang-orang yang memegang jabatan struktural atau pemerintahan di Desa Rantau Limau Manis, baik kepala desa; kepala dusun; ketua RT dan lain sebagainya. Kedua kelompok yang dianggap keturunan pendiri desa ini merupakan orang-orang terpandang dan memiliki kekayaan melebihi apa yang dimiliki oleh kelompok lainnya. Adapun orang biasa adalah masyarakat desa yang bukan termasuk dua kelompok sebelumnya, tetapi merupakan penduduk asli desa ini sedangkan pendatang adalah orang-orang yang datang dari luar desa yang kemudian menetap karena berbagai keperluan, bekerja sebagai penyadap karet misalnya.

Dua golongan yang disebutkan pertama merupakan kalangan terpandang dalam masyarakat karena merekalah penggerak pemerintahan dan segala sistem yang berlaku di desa ini. Segala titah dan perintah yang biasanya mewujud dalam aturan dan adat desa menjadi tuntunan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks pengelolaan perkebunan karet rakyat di desa ini, kedua kelompok ini memainkan peranan yang signifikan karena mereka memiliki mayoritas perkebunan karet yang ada di desa ini. Dengan posisinya sebagai kalangan ‘darah biru’ dalam masyarakat ditambah lagi dengan faktor ekonomi yang di atas masyarakat kebanyakan, maka kelompok ulama dan pemangku berperan layaknya tuan kepada para pengikutnya. Masing-masing orang dalam kedua kelompok ini memiliki bawahan yang berposisi layaknya ‘anak buah’, baik perannya sebagai kalangan ningrat desa maupun dalam pengelolaan perkebunan karet. Para bawahan yang bekerja dengan mereka tersebut melaksanakan segala titah yang diperintahkan oleh kedua kalangan ningrat tersebut.

Peranan vital yang dimainkan oleh kedua kelompok ‘darah biru’ ini memungkinkan dapat terjadi di samping karena faktor ekonomi yang mereka miliki, juga yang terpenting adalah budaya setempat yang menempatkan mereka dalam posisi teratas. Menurut budaya yang berlaku dan diyakini oleh masyarakat desa ini, kedua kalangan ini adalah keturunan langsung para pemuka atau para pendiri desa ini dahulu kala. Dengan demikian, segala hal yang berkaitan dengan desa ini dimainkan secara signifikan oleh kedua kalangan ini, sedangkan dua golongan lainnya sebagai pengikut atau pihak yang menjalankan dan tunduk pada kedua golongan di atas mereka. Realitas seperti ini bukan hanya terbatas pada aspek sosial dan budaya saja, tetapi lambat laun merambah aspek lainnya, seperti ekonomi dan bahkan politik. Secara ekonomi, misalnya, kalangan rakyat biasa dan apalagi pendatang selalu diposisikan sebagai ‘anak buah’ yang bekerja dan mendapat perlindungan dari kalangan ulama dan pemangku sebagai pemilik lahan perkebunan karet tempat mereka bekerja. Kondisi seperti ini juga berlaku pada aspek politik, di mana banyak dijumpai kalangan rakyat biasa dan pendatang yang berafiliasi politik tertentu sama dengan kalangan ‘ningrat’ tempat mereka mengabdi sebagai pekerja penyadap karet.


[1] Menurut penuturan beberapa tokoh masyarakat di desa ini, jauh sebelum dibangunnya jalan yang menghubungkan wilayah desa ini dengan wilayah-wilayah lain sekitarnya dan juga ke perkotaan, masyarakat desa memanfaatkan sarana sungai untuk bepergian. Ke kota Jambi, misalnya, untuk keperluan menjual beragam hasil bumi maka masyarakat menggunakan perahu atau kapal untuk kemudian dijual ke ibu kota propinsi yang terletak di pinggiran sungai Batang Hari tersebut. Jika maka angkutan sungai memang memakan waktu lebih lama. Saat ini, dapat dikatakan bahwa tidak ada lagi masyarakat yang menggunakan sarana sungai untuk bepergian, terutama ke perkotaan, karena sarana darat sudah cukup tersedia. Meskipun demikian, sungai beserta sarananya masih dimanfaatkan masyarakat untuk mengangkut beberapa hasil perkebunan yang tidak dapat dilakukan dengan sarana darat, seperti jalan yang belum tersedia.

[2] Perubahan bahan bangunan yang digunakan oleh masyarakat  desa ini dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagaimana yang disebutkan di atas. Namun demikian, faktor lainnya adalah semakin sulitnya mendapatkan kayu yang berkualitas untuk dijadikan bahan bangunan sebagaimana yang dahulu digunakan. Adapun jenis kayu yang biasa digunakan untuk bahan bangunan di desa ini adalah Kayu Bulin, Tembesu, Merantih, Marsawa dan lain sebagainya yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai jenis-jenis kayu yang kuat, kokoh dan tahan lama. Hal ini terjadi karena semakin menipisnya hutan yang ada di sekitar desa ini di mana dahulu menjadi sumber utama didapatkannya kayu-kayu yang berkualitas tersebut. Areal hutan yang luas tersebut kini telah menjelma menjadi lahan perkebunan karet dan kelapa sawit serta sebagian yang lainnya berupa belukar yang dibiarkan tidak terawat. Meskipun ada segelintir rumah warga yang masih menggunakan kayu, itu pun merupakan sisa peninggalan masa lalu yang biasa menjadi rumah kuno yang tidak jarang malah menjadi menakutkan bagi sebagian masyarakat karena bentuknya yang menyeramkan tidak terawat.

[3] Meskipun demikian, setelah menjadi ibukota kecamatan yang baru maka tentu desa ini akan segera berubah menjadi kelurahan layaknya yang ada di wilayah lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa dengan berubah menjadi kelurahan, maka keistimewaan yang dimiliki desa seperti pemilihan kepala desa secara langsung menjadi hilang berganti dengan lurah yang ditunjuk oleh pemerintah. Hanya saja, hingga saat ini status yang ada pada desa ini masih seperti yang ada sebelum dan belum mengalami perubahan.

[4] Wawancara dengan para mantan Kepala Desa Rantau Limau Manis (Ahmad Karim dan M. Nafis HM) dan beberapa tokoh masyarakat setempat pada tanggal 03 dan 04 Agustus 2005.

[5] Wawancara dengan H. Mahmud HT (tokoh masyarakat) dan Ahmad Karim (mantan Kepala Desa) tanggal 05 Agustus 2005.

[6] Lebih lanjut dapat dilihat dalam: Soegijanto Padmo, ‘Perusahaan Tanaman Karet di Sumatera Timur’ …hlm. 110.

[7] Lebaran haji atau idul adha adalah waktu yang tepat untuk melangsungkan pernikahan menurut anggapan yang telah lama dianut oleh masyarakat desa ini. Meskipun demikian, pada waktu-waktu lainnya tetap ada yang melangsungkan pernikahan, tetapi tidak lebih banyak jumlahnya jika dengan ketika sehabis lebaran haji. Waktu pelaksanaan lain yang juga banyak dipilih adalah setelah lebaran idul fitri, dimana sebagian besar anggota keluarga berkumpul.

[8] Ada suatu pemahaman yang berkembang di dalam masyarakat ini bahwa setiap anak laki-laki ketika telah mencapai usia baligh (17 tahun) dan telah mampu mencari pekerjaan sendiri maka orang tuanya akan merasa malu kepada tetangga atau keluarganya jika belum menikah. Maka biasanya sang ibu berusaha mencari pasangan yang cocok buat anaknya atau si anak sendiri yang  umur minimal untuk melangsungkan pernikahan. Maka tak jarang beberapa anak perempuan di dusun tertentu yang telah melangsungkan pernikahan padahal ia baru saja menamatkan sekolah dasar.

[9] Bagi anak-anak yang dianggap telah dewasa dan tidak melanjutkan pendidikannya, maka beberapa orang tua yang kaya memfasilitasi anak-anak mereka tersebut dengan beberapa cara, yaitu: menyerahkan pengelolaan perkebunan karet untuk jangka waktu tertentu dengan tujuan agar memiliki modal untuk berusaha sendiri di kemudian hari, membelikan beberapa lahan perkebunan, baik yang sudah siap diproduksi maupun yang belum, sebagai modal dasar, dan membuka usaha lain di luar perkebunan karet yang biasa dilakukan oleh orang tuanya, seperti berdagang dan lain sebagainya. Sedangkan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, bahkan miskin maka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia bekerja di beberapa pemilik perkebunan karet sebagai penyadap bersaing dengan para penyadap yang datang dari Pulau Jawa.

[10] Budaya konsumerisme sebagaimana yang dikemukakan oleh Baudrillard (2006) nampaknya telah lama menjangkiti masyarakat desa ini karena dengan beragam keuntungan dari penjualan karet maka dengan mudahnya mereka membeli beragam peralatan dan perlengkapan modern yang mahal dengan tanpa melihat manfaat sebenarnya dari barang-barang tersebut. Aneka ragam barang yang tidak lebih dari gaya hidup dan pencitraan tersebut, terutama sepeda motor dan mobil, tidak jarang diperuntukkan bagi anak-anak mereka yang masih dalam usia sekolah. Masalahnya, ketika anak-anak tersebut bersekolah yang sebagian besar berada di wilayah Propinsi Jambi, maka yang ada dalam pikirannya adalah motor atau mobil dan beragam fasilitas ada di rumah. Maka tidak jarang anak-anak tersebut gagal menyelesaikan studinya karena lebih banyak berada di rumah dengan menikmati fasilitas yang serba komplit tersebut, sementara apa yang mereka temukan di sekolahnya sangat kontradiktif. Meskipun belakangan ini minat belajar cukup menggeliat, tetapi tetap saja budaya konsumerisme yang tidak proporsional ini terus diketengahkan oleh para orang tua di hadapan anak-anaknya sehingga membuat mereka tidak betah bersekolah.

[11] Beberapa kepercayaan yang dapat dikategorikan sebagai sisa-sisa animisme, sekaligus juga sebagai kearifan lokal dari perspektif lainnya, di desa ini  adalah adanya anggapan yang masih melekat di masyarakat bahwa tempat-tempat tertentu memiliki ‘penunggu’ berupa makhluk halus. Realitas semacam ini misalnya tampak pada diadakannya seperti upacara selamatan sebelum membuka lahan perkebunan yang berupa hutan untuk meminta izin ‘penunggunya’. Perilaku lainnya yang juga dapat dikategorikan dalam aspek ini adalah digunakannya semacam dupa yang terus mengepulkan asap kemenyan setiap kali diadakan doa di setiap acara selamatan, baik yasinan setiap malam Jum’at, kematian, kelahiran dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan oleh masyarakat sebagai perantara doa yang mereka panjatkan, meskipun tata cara selamatan yang dilakukan tersebut menggunakan cara-cara yang lazim dikerjakan dalam Islam. Di samping itu, beberapa tempat di sekitar desa masih dianggap keramat, seperti kota tua Koto Rayo yang terletak di bagian timur desa dan beberapa kubur tua yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para pembuka desa ini dahulunya, salah satunya Puyang Sungkai yang sekarang diyakini masyarakat mewujudkan diri menjadi seekor harimau yang masih sering menampakkan dirinya kepada masyarakat.

[12] Beberapa perlombaan keagamaan yang biasa diadakan di desa ini adalah Musabah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang terdiri dari lomba membaca al-Qur’an dan lomba adzan. Kegiatan yang dipusatkan di depan masjid desa ini biasanya dilaksanakan setelah lebaran atau bersamaan dengan perayaan idul fitri. Peserta yang mengikuti acara ini biasanya merupakan utusan dari setiap RT yang ada di desa ini untuk memperebutkan piala bergilir Kepala Desa, piagam penghargaan dan uang pembinaan dari para donatur. Di samping itu, penyelenggaraan perlombaan ini juga sekaligus sebagai pemuas rasa bangga bagi para pemenang di ajang ini karena berhasil menunjukkan dominasi mereka atas RT-RT yang lainnya.

[13] Efisiensi dan efektivitas maksudnya ialah karena di saat shalat Jumat dan salat Ied adalah waktu di mana banyak orang yang hadir dan berkumpul. Sebagaimana diakui oleh perangkat desa setempat bahwa karena kesibukan masyarakat dalam bekerja di berbagai usaha, sangat sulit mengumpulkan mereka di balai desa sebagaimana umumnya yang dilakukan di berbagai tempat di tanah air. Untuk menyiasati kondisi ini, maka para tetua desa mengambil inisiatif untuk melaksanakannya setelah pelaksanaan salat Jumat atau salat Ied, karena pada kedua momen ini adalah hari libur bagi masyarakat Desa Rantau Limau Manis. Pada kedua hari ini, biasanya mereka pulang ke rumah setelah beberapa hari bekerja, juga untuk mempersiapkan perbekalan untuk dibawa kembali bekerja di hari berikutnya. Hari Jumat juga merupakan hari pasaran di desa ini. Dengan demikian, pemanfaatan hari Jumat dan idul fitri bukan saja efektif bagi pelaksanaan aktivitas keagamaan,  tetapi juga bagi kegiatan pemerintahan desa.